Kisah Abu Hurairah R.A
Seluk Beluk Nama Abu Hurairah
Abdurahman bin Sakhr merupakan nama asli dari sahabat yang akrab kita
dengar dengan Abu Hurairah. Beliau di panggil Abu Hurairah karena di
waktu kecil ia di perintahkan untuk mengembala beberapa ekor kambing milik
keluarganya, di sela sela ia mengembala kambing Abu Hurairah selalu
bermain dengan kucing kecilnya di saat siang hari dan jika malam sudah tiba,
kucing tersebut di letakkan di atas pohon lalu Abu Hurairah pulang
kerumahnya. Kebiasaan ini berjalan terus sampai teman sebayanya memanggilnya
dengan Abu Hurairah yang berarti si pemilik kucing kecil.
Tempat Asal Abu Hurairah
Abu Hurairah seorang sahabat yang lahir di daerah Ad Daus Yaman, daerah
yang mulanya selalu menentang risalah kenabian Muhammad Shallahu Alaihi
wa Sallam, sampai datanglah seorang sahabat bernama Thufail bin Amru Ad
Dausi Radhiallahu anhu yang pernah bertemu Nabi
Muhammad Shallahu Alaihi wa Sallam dan mengikrarkan islamnya
sebelum hijrahnya Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam ke Madinah.
Tufail bin ‘Amru Ad Dausi yang mendakwahkan Islam kepada kaumnya Ad
Daus, namun tidak ada dari kota Ad Daus yang menerima Islam kecuali satu orang
yaitu Abu Hurairah Radhiallahu anhu.
Pada awal tahun ke tujuh hijriah diumurnya yang ke dua puluh enam, tekad
Abu Hurairah Radhiallahu anhu untuk hijrah dari negrinya
menuju Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bulat, dengan
perbekalan yang seadanya tak membuat Abu Hurairah Radhiallahu anhu mundur,
bahkan ia pernah bersyair saat tiba di Madinah,
يا ليلة
من طولها و
عنائها
على
أنها من دارة
الكفر نجت
Wahai malam yang panjang serta melelahkan, namun saat itulah aku
terselamatkan dari negri kafir.
Tetapi tibanya beliau di malam itu tidak dapat di sambut dengan
Rasulullah dan para sahabat besar karena mereka semua sedang berada di medan
perang Khaibar.
Sampailah waktu Subuh, kemudian para sahabat berkumpul untuk
melaksanakan shalat subuh yang di pimpin oleh Siba bin Urfutoh Radhiallahu
anhu yang telah di tunjuk oleh Rasulullah menjadi imam kala
Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam berperang saat itu.
Setelah shalat subuh selesai tak lama terdengar suara suara yang
menandakan tibanya tentara kaum Muslimin berserta panglimanya yaitu Rasulullah Shallahu
Alaihi wa Sallam , sebagaimana biasanya Rasulullah langsung menuju
masjid shalat dua rakaat dan menemui beberapa sahabat, kemudian di lihatlah
oleh Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam seseorang yang
mempunyai kulit agak gelap, lebar pundaknya serta memiliki celah diantara dua
gigi depannya dan langsung membaiat Rasulullah. Kemudian, Rasulullah Shallahu
Alaihi wa Sallam mengatakan,
ممن أنت
؟ قلت : من دوس،
قال: ما كنت
أرى في دوس
احدا فيه خير
“Dari mana engkau?”, Abu Hurairah menjawab,
“Aku berasal dari Ad Daus”, Rasulullah mengatakan, “Sungguh aku
dulu tidak menyangka ada kebaikan di Daus”[1. HR. Ibnu Saad,dan Abi
dawud At-Thayalisi].
Kehidupan Awal Di Madinah
Abu Hurairah yang merupakan tamu baru di kota Madinah, juga dikenal pada
saat itu seorang sahabat yang sangat miskin, keputusan ia berhijrah dari yaman
ke tanah Madinah membuatnya kehilangan harta harta yang ia miliki di yaman.
Namun, kaum muslimin saat itu telah menyediakan tempat untuk tamu Allah yang
tidak mempunyai harta dan keluarga. Mereka akan di tempatkan di masjid,
seraya belajar Islam kepada Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam .
Ahlu suffah merupakan sebutan untuk mereka para penghuni
masjid Nabawi saat itu, dan sahabat Abu Hurairah merupakan orang yang paling
fakih di antara ahlu Suffah yang lain, karena jarangnya ia absen dalam
mendengarkan Rasullah saat menyampaikan pelajaran.
Para Ahlu Suffah mendapatkan makanan jika Rasulullah mendapatkan
makanan, dan mereka juga tak makan jika keluarga Rasulullah tak makan
maka laparnya Ahlu Suffah berarti laparnya Rasulullah serta keluarganya Shallahu
Alaihi wa aalihi wa Sallam.
Kemiskinan Abu Hurairah
Abu Hurairah merupakan seorang sahabat yang sangat sabar dengan apa yang
Allah timpahkan, kemiskinannya membuat benar-benar ia tak asing lagi
dengan rasa lapar yang selalu hadir hampir di setiap harinya, ia tak asing
dengan batu yang selalu mengikat perutnya, bahkan ia pernah mengatakan, “Aku
pernah merasakan lapar sampai aku ingin pingsan, kemudian agar aku mendapatkan
makanan, aku berpura-pura seperti orang yang kejang diantara mimbar Rasul
dan rumah Aisyah sampai orang-orang datang kepadaku kemudian meruqyaku, aku
langsung mengangkat kepalaku lalu aku katakan,
ليس
الذي ترى،
إنما هو الجوع
“Ini bukan yang seperti kalian lihat (kejang karena kesurupan,pent-)
namun aku begini karena lapar”[2. HR. Bukhari].
Kelaparan Bersama Abu Bakar,
Umar dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
Dikisahkan bahwa Abu Hurairah di suatu hari telah mengikat dengan keras
perutnya dengan batu agar tidak terasa lapar yang menusuk, demi mendapatkan
makanan, beliau duduk di jalan yang biasa di lewati oleh para sahabat.
Tak lama berselang lewatlah Sahabat yang mulia Abu Bakar Radhiallahu
Anhu di hadapan Abu Hurairah, maka langsung Abu Hurairah menghampiri
Abu Bakar bertanya-tanya tentang masalah agama, namun di dalam pertanyaan
tersebut Abu Hurairah berharap pertanyaan yang ia layangkan dapat membawanya diundang
makan bersama Abu Bakar, namun tidak seperti yang di harapkan, lalu berpisahlah
mereka berdua.
Kemudian lewatlah Al Faruq Umar bin Khattab Radhiallahu Anhu ,
maka Abu Hurairah Radhiallahu Anhu melakukan apa yang ia
lakukan bersama Abu Bakar dengan harapan yang sama, namun tidak juga seperti
yang di harapkan. Kedua sahabat yang mulia itu tidak mengetahui maksud dari Abu
Hurairah.
Berikutnya, lewatlah manusia yang paling mulia Rasulullah Shallahu
Alaihi wa Sallam , melihat Abu Hurairah yang sedang duduk-duduk di
jalan, Rasulullah mengetahui bahwa sahabatnya itu sedang kelaparan, lalu
Rasulullah memanggil Abu Hurairah untuk datang kerumahnya, ternyata di dapati
di dalam rumah Rasulullah hadiah berupa satu bejana susu. Kemudian Rasulullah Shallahu
Alaihi wa Sallam berkata, “Abu hurairah panggilah para ahli
suffah”. Mendengar perintah tersebut abu hurairah pergi memanggil ahli
suffah sambil berkata dalam hatinya, “kenapa tidak saya dikasih minum dulu,
jika telah datang ahlu suffah maka akan habis susu itu, tapi biarlah kelaparan
ku ini tak menghalangi ku untuk taat kepada Allah dan RasulNya”.
Datanglah Ahlu Suffah dengan perasaan senang menyambut panggilan, begitu
mereka duduk, Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan
Abu Hurairah untuk menuangkan kepada setiap ahlu suffah susu tersebut
sampai semua kenyang. Maka tak tersisa lagi yang kelaparan pada saat itu
kecuali Abu Hurairah dan Rasulullah, kemudian Rasulullah senyum sambil melihat
bejana susu lalu melihat kepada Abu Hurairah yang kelaparan,
“ wahai Abu hurairah tinggal tersisa aku dan kamu”,
Abu Hurairah menjawab, “benar wahai Rasulullah”,
Rasulullah berkata, “minumlah”
Abu Hurairah berkata, dan akupun langsung meminumnya, dan tidaklah
Rasulullah memerintahkan ku untuk terus meminum susu tersebut sampai aku tidak
mendapatkan ruang kosong dalam lambungku, setelah aku kenyang barulah
Rasulullah meminum susunya”[3. HR. Muslim].
Subhanallah, terllihat sekali kelembutan, kebaikan, kepedulian
Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam kepada para sahabatnya,
dan lihatlah ketaatan Abu Hurairah Radhiallahu Anhu akan
perintah Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam .
Bakti Abu Hurairah Kepada Ibunya
Disuatu malam abu hurairah pernah keluar dan ini diluar kebiasaan, maka
orang-orang bertanya kepada Abu Hurairah kenapa ia keluar, beliau
menjawab “tidak ada yang membuatku keluar kecuali rasa lapar”, Mereka
juga berkata, “kamipun begitu tidak ada yang mengeluarkan kami dari rumah
kecuali rasa lapar”.
Akhirnya, kami mendatangi Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam mengadukan
rasa lapar kami, lalu Rasulullah mengeluarkan mangkuk yang berisi beberapa
kurma, setiap satu orang yang datang di berikan dua buah kurma.
Rasulullah mengatakan, “makan dua buah kurma ini dan perbanyaaklah
minum air, ini akan mencukupimu untuk hari ini”.
Maka akupun memakan satu buah kurma dan sisanya aku simpan. Rasulullah
mengatakan, “untuk apa kau simpan kurma mu? Bukankah kau sangat lapar?”,
“aku simpan ini untuk ibuku”.
Lalu Rasulullah berkata, “makanlah, nanti kuberikan tambahan untuk
ibumu”[4. Thabaqat Ibnu Sa’ad, 4/328 – 329].
Kisah Masuk Islanya Ibunda Abu
Hurairah
Abu Hurairah pernah bercerita, “ dahulu ibuku masih dalam
keadaan musyrik, setiap saat aku selalu mendakwahkannya agar memeluk agama
islam, sampai di suatu hari saya mendengar perkataan ibuku yang sangat buruk
yang ia layangkan untuk Rasulullah, aku langsung mengadu kepada Rasulullah
seraya menangis lalu aku meminta Rasulullah untuk mendoakan ibuku, maka
Rasulullah berkata,
اللَّهُمَّ
اهْدِ أُمَّ
أَبِي
هُرَيْرَةَ
“Ya Allah berikanlah hidayah kepada ibunda Abu Hurairah”.
Maka setelah Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam mendoakan
ibuku, aku kembali kerumah ingin mendakwahinya lagi dan mengabarkan bahwa ia
telah di doakan Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam, namun setibanya
aku di rumah, pintu rumah ku terbuka, aku medengar suara gemercik air, lalu
saat aku ingin masuk, terdengar suara ibuku berkata, “janganlah kau masuk”.
Kemudian keluar ibuku yang telah memakai penutup kepala dan tubuhnya
seraya mengatakan,
أَشْهَدُ
أَنْ لاَ
إِلَهَ
إِلاَّ الله،
وَأَنَّ مُحَمَّداً
عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ
Ya, ibuku mengucapkan kalimat syahadat, ibu ku menjadi seorang muslimah.
Aku langsung lari kembali kepada Rasulullah seraya menangis kegirangan layaknya
aku menangis tadi karena kesedihan, aku kabarkan kabar gembira ini kepada
Rasulullah, lalu ia berdoa,
اللَّهُمَّ
حَبِّبْ
عُبَيْدَكَ
هَذَا وَأُمَّهُ
إِلَى
عِبَادِكَ
المُؤْمِنِيْنَ،
وَحَبِّبْهُمْ
إِلَيْهِمَا
“Ya Allah jadikanlah hambamu ini (abu hurairah) dan ibunya orang yang di
cintai oleh kaum mukminin, dan ia berdua juga cinta kepada kaum mukminin”[5. HR. Muslim].
Semangatnya Abu Hurairah Akan
Ilmu
Sahabat yang mulia ini terkenal sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan
hadist, tercatat sekitar lebih dari 5000 hadist yang di riwayatkan lewat
jalurnya.
Memang semangatnya Abu Hurairah dalam ilmu hadist telah diketahui oleh
Rasulullah seperti di dalam hadist,
عَنْ
أَبِي
هُرَيْرَةَ
أَنَّهُ
قَالَ قِيلَ
يَا رَسُولَ
اللَّهِ مَنْ
أَسْعَدُ
النَّاسِ
بِشَفَاعَتِكَ
يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
لَقَدْ
ظَنَنْتُ يَا
أَبَا
هُرَيْرَةَ
أَنْ لَا
يَسْأَلُنِي
عَنْ هَذَا
الْحَدِيثِ
أَحَدٌ
أَوَّلُ
مِنْكَ لِمَا
رَأَيْتُ
مِنْ
حِرْصِكَ
عَلَى
الْحَدِيثِ
أَسْعَدُ
النَّاسِ
بِشَفَاعَتِي
يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
مَنْ قَالَ لَا
إِلَهَ
إِلَّا
اللَّهُ
خَالِصًا
مِنْ قَلْبِهِ
أَوْ
نَفْسِهِ
Abu hurairah pernah bertanya kepada Rasulullah, “ siapa yang
paling senang dapat syafaatmu nanti wahai Rasulullah? Rasulullah
mengatakan, “sudah kuduga bahwa engkau yang akan menanyakan hal ini wahai
abu hurairah saat aku melihat semangat atas hadist”. (HR. Bukhari).
Di riwayatkan bahwa beliau pernah berkata, “aku membagi malamku tiga
bagian pertama untuk membaca Al Quran, sebagian lain untuk tidur, sebagian lagi
untuk mengulang hafalan hadsitku”[6. Tarikh Dimasyq, 67 /362].
Akhir Hayat Abu Hurairah
Sahabat yang mulia ini diberikan umur yang panjang oleh Allah ta’ala di
riwayatkan bahwa beliau wafat di umur 78 tahun, maka jarak dari wafatnya
Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam dengan wafatnya Abu
Hurairah sekitar 47 tahun,oleh karena itu beliau sangat sering
mengajarkan ummat dan banyak meriwayatkan hadist.
Di riwayatkan dari Nafi’ Rahimahullah bahwa saat Abu Hurairah wafat aku
dan Ibnu Umar radhiallahu anhu ikut mengiringi jenazah, dan ibnu Umar Radhiallahu
anhuma tak lepas mendoakan Abu Hurairah lalu ia berkata, “ orang
ini adalah orang yang paling hafal hadist Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam “[7.
Thabaqat Ibnu Saad, 4/253].
Penutup
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk setiap pembaca, serta dapat
menambah wawasan kita akan para Sahabat, juga menepis segala syubhat yang ada,
dan menjadikan kita mencintai Abu Hurairah dan ibunya, karena tak ada yang
mencintainya kecuali orang mukmin sebagaimana hadist di atas.
Wa Shallalhu alihi wa sallam, wa billahi taufiq.
***************
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu
Pribadi Yang Mengagumkan
ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU PRIBADI
YANG MENGAGUMKAN [1]
Musuh-musuh Islam selalu mengintai dan
mencari kelengahan kaum muslimin, kemudian melemparkan syubhat-syubhat untuk
membuat keraguan atas kebenaran Islam. Mereka berusaha mengaburkan sejarah emas
generasi sahabat, dengan mencoba mencela dan melecehkannya, khususnya para
perawi hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya, yaitu
perawi yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dialah Abu Hurairah. Oleh karenanya, kita perlu mengetahui sejarah
kehidupannya, agar kaum muslimin memiliki hujjah, tidak terbawa arus propaganda
dan provokasi musuh-musuh Islam
NAMA DAN NASABNYA
Namanya pada masa jahiliyah -menurut
pendapat yang rajih- adalah Abdu Syams, sebagaimana ditetapkan Imam Bukhari,
AtTirmidzi dan Al Hakim. Adapun setelah masuk Islam, namanya telah dirubah oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini, dikarenakan tidak boleh memberi
nama seseorang dengan nama “hamba fulan” (Abdul Fulan) atau hamba sesuatu. Yang
boleh, hanya hamba Allah (Abdullah) semata, sehingga beliau diberi nama
Abdullah atau Abdurrahman, namun Abdurrahman-lah yang lebih rajih.
Nama tersebut merupakan salah satu nama
dari sekian nama-nama yang dimiliki Abu Hurairah. Menurut Al Hakim, nama itulah
yang paling shah. Akan tetapi, Abu Ubaid berkata, bahwa nama beliau adalah
Abdullah; dan Ibnu Khuzaimah terbiasa menggunakan nama tersebut.
Imam Bukhari dalam kitab Al Adab Al
Mufrad mengutip dari Musa bin Ya’qub Al Juma’i yang telah bertemu dengan
sahabat-sahabat setia Abu Hurairah. Bahwa sebelumnya, Abu Hurairah bernama
Abdullah. Hal ini membuat Ibnu Hajar mengakui adanya kemungkinan benarnya dua
nama tersebut.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu adalah
orang Dausi –dengan difathahkan huruf “dal” dan disukunkan huruf “waw”- berasal
dari Bani Daus bin ‘Adtsan. Kabilah Daus ini berasal dari Al Azd. Sedangkan Al
Azd sendiri merupakan qabilah Yamaniah Qathaniyah yang terkenal silsilah nasab
keturunannya terjaga sampai kakek tertinggi Al Azd bin Al Ghauts, sebagaimana
telah dijelaskan oleh seorang pakar sejarah terpercaya Khalifah bin Khayyath.
Jika demikian halnya, berarti dia adalah
Abu Hurairah Al Dausi Al Yamani. Imam Ad Daulabi meriwayatkan dari seorang
tabi’in terkenal, Yazid bin Abu Hubaib, bahwa Abu Hurairah Ad Dausi Al Yamani
merupakan sekutu Abu Bakar Ash Shiddiq.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
jelaslah kepalsuan dan kebodohan orang yang menuduh, bahwa nasab Abu Hurairah
tidak dikenal (majhul). Bahkan (perlu) kami tambahkan disini dengan menyatakan,
bahwa Ibnu Ishaq – pengarang kitab sirah yang terkenal ituberkomentar tentang
Abu Hurairah seraya berkata, ”Abu Hurairah adalah seorang mulia. Berkedudukan
tinggi dan dipercaya di kalangan Bani Daus. Bani Daus senang memilikinya.”
Pamannya bernama Sa’ad bin Abu Dzubab
yang diangkat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai gubernur wilayah
Daus. Pengangkatan tersebut berlangsung hingga pemerintahan Umar. Nampaknya,
kalaulah Sa’ad pada masa jahiliyah bukan seorang gubernur, niscaya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengangkatnya sebagai gubernur.
Orang-orang yang meneliti sikap politik Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam mengangkat gubernur atau pemimpin bagi setiap suku atau kabilah, akan
mengetahui, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu antusias mengangkat
orang yang pada masa jahiliyahnya menjadi pemimpin bagi kaumnya, jika masuk Islam
dan faqih (ahli agama), sebagaimana pengangkatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam terhadap sahabat yang mulia Jarir bin Abdullah Al Bajali untuk menjadi
wakil bagi kaumnya. (Demikian juga) Adi bin Hatim Ath Tha’i juga diangkat
sebagai pemimpin bagi kaumnya.
Abu Ubaid Al Qasim bin Salam menyatakan :
Shafwan bin Isa telah menceritakan kepada kami dari Al Harits bin Abdurrahman
bin Abu Dzubab dari Munir bin Abdullah dari ayahnya dari Sa’ad bin Abu Dzubab,
ia berkata,”Aku mendatangi Rasulullah n . Lalu aku menyatakan diri masuk Islam.
Lalu aku bertanya,’Wahai, Rasulullah. Jadikan untuk kaumku pemimpin yang akan
mengambil zakat mereka yang telah masuk Islam,’ lalu Nabi menunaikan hal itu
dan mengangkatku sebagai ‘amil untuk mengambil zakat mereka. Abu Bakar pun
mengangkatku juga. Demikian pula Umar mengangkatku untuk melakukan tugas
tersebut.”
Dalam kisah tersebut, kalau kita
perhatikan, memang tidak terdapat isyarat bahwa Sa’ad sebagai paman dari Abu
Hurairah. Namun isyarat tersebut terdapat pada sejarah biografi anaknya, Al
Harist bin Sa’ad bin Abu Dzubab. Yaitu ketika Abu Salamah bin Abdurrahman bin
Auf menjelaskan, bahwa dia adalah anak dari paman Abu Hurairah. Telah sampai
kepada kita keterangan yang jelas dari Abu Salamah dengan sanad yang shahih
diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim. Demikian juga Ibnu Hibban menyebutkan
hal itu dalam biografinya, bahwa ia merupakan anak dari paman Abu Hurairah.
Demikianlah kemuliaan dan keutamaan yang
dimiliki Abu Hurairah dari jalur pamannya seorang gubernur. Adapun dari jalur
paman dari ibu; sesungguhnya ibunya (Umaimah binti Shufaih bin Al Harist dari
Bani Daus) memiliki saudara bernama Sa’ad bin Shufaih, seorang pahlawan
pemberani Bani Daus. Pamannya inipun telah masuk Islam. Dengan demikian,
menyatulah kemuliaan Abu Hurairah dari dua arah. Dan nyatalah kebatilan
pendapat orang yang menyatakan jika Abu Hurairah seorang faqir terlantar.
SEBAB KUNIYAHNYA YANG ANEH
Abu Hurairah terkenal dengan kunniyah
(julukan)nya. Tentang julukannya ini, Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Mereka memberikan
gelar dan julukan kepadaku Abu Hurairah. Penyebabnya, tidak lain karena aku
pernah menggembalakan kambing untuk keluargaku. Dan saat itu kudapati anak
kucing liar, lalu aku masukkan ke kantong lenganku. Ketika aku pulang kembali
ke rumah, mereka mendengar suara kucing di kamarku, kemudian bertanya, ‘Suara
apakah itu, wahai Abdu Syams?’ Akupun menjawab,‘Anak kucing yang kutemukan
(saat menggembala kambing)’. Mereka berkata,‘Kalau begitu, engkau adalah Abu
Hurairah’. Semenjak itu, julukan dan gelar itu terus melekat padaku.”
Akan tetapi Abu Hurairah berkata,
”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku Abu Hirin dan orang-orang
memanggilku Abu Hurairah,” karenanya ia berkata, ”Kalian memanggil dan
menjulukiku dengan julukan laki-laki (Abu Hirin), lebih aku sukai daripada
julukan wanita (Abu Hurairah).” Disebutkan di beberapa tempat dalam Shahih
Bukhari, bahwa dalam berbagai kesempatan dan peristiwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memanggil Abu Hurairah dengan panggilan Abu Hirrin.
SIFAT (CIRI KHUSUS) YANG DIMILIKINYA
Abdurrahman bin Abu Labibah memberikan
sifat khusus bagi Abu Hurairah. Dia berkulit sawo matang, bahu dan pundaknya
cukup lebar, rambutnya dikepang dan dibelah dua, dan gigi serinya renggang.
Dhamdhan bin Jaus mensifatkannya sebagai seorang tua yang mengepang rambut
kepalanya dan gigi serinya renggang.
Muhammad bin Sirin memberikan ciri
khusus, bahwa Abu Hurairah adalah seorang yang berkulit putih, halus, lembut
dan tidak kasar. Dia mengecat jenggotnya dengan hanna’ (pohon pacar) dan
berpakaian dengan kain katun.
KEISLAMAN DAN HIJRAHNYA
Di tengah-tengah kesesatan jahiliyah dan
kegelapan syirik, sampailah seruan dakwah tauhid dari Mekkah kepada seorang
yang mulia, penyair ulung dan dermawan, yaitu Ath Thufail bin Amr Ad Dausi.
Kemudian Ath Thufail masuk Islam dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam di Mekkah, lalu kembali kepada kaumnya di wilayah Daus. Ia menyeru
kepada kaumnya, sehingga ada yang masuk Islam. Diantara mereka ialah Abu
Hurairah.
Ibnu Hajar menyebutkan riwayat Hisyam bin
Al Kalbi tentang kisah Ath Thufail. Bahwa ia mendakwahi kaumnya untuk masuk
Islam, lalu ayahnya masuk Islam, sedangkan ibunya tidak. Dan Abu Hurairah saja
yang memenuhi panggilannya. Demikianlah permulaan kisah keislaman Abu Hurairah.
Kemudian Ath Thufail bin Amr Ad Dausi
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya, ”Apakah baginda
Nabi berada dalam lindungan yang cukup kuat dan jaminan keamanan?” Dia berkata
lagi,”Ada perlindungan dan suaka politik pada Bani Daus yang ada sejak zaman
jahiliyah (jika engkau ingin),” namun Nabi enggan untuk mendapatkan jaminan
keamanan tersebut, karena (memilih) jaminan Allah kepada kaum Anshar. Ketika
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, Ath Thufail pun hijrah ke
Madinah pula.
Ath Thufail berkata,”Aku mendatangi
Rasulullah bersama orang-orang yang telah masuk Islam dari kaumku, sedangkan
(waktu itu) Rasulullah berada di Khaibar, hingga tinggal di Madinah tujuh puluh
atau delapan puluh keluarga dari Bani Daus.”
Mulai saat itulah Abu Hurairah bertugas
dan bertanggung jawab untuk memaparkan berita-berita tentang dirinya dan berita
para delegasi tersebut. Abu Hurairah berkata, ”Ketika Rasulullah berangkat
menuju Khaibar, Beliau mengangkat Siba’ bin Al Fathah Al Ghifari sebagai
pejabat sementara Madinah, kami lalu tiba disana. Ketika tiba di Madinah,
jumlah kami sebanyak 80 keluarga Bani Daus.” Berkata seseorang, ”Rasulullah
berada di Khaibar dan akan datang menemui kalian,” akupun menimpalinya,
”Tidaklah aku mendengar Rasulullah beristirahat di suatu tempat, kecuali aku
mendatanginya. Lalu kami menemui Siba’ bin Al Fathah dan kami bersiap-siap.
Kemudian aku menemui Rasulullah pada suatu hari sebelum penaklukan (kota
Makkah) atau sehari setelahnya.
Rasulullah telah menaklukan An Nuthah
dalam keadaan mengepung Ahli Kutaibah (penduduk benteng Kutaibah). Kamipun
bertahan disana hingga Allah Ta’ala membukanya untuk kami.”
MASA PERSAHABATANNYA DENGAN RASULULLAH
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu datang ke
Khaibar pada bulan Shafar tahun ke 7 H, sedangkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 11 Hijriah. Sehingga
lamanya bersahabat dengan Nabi sekitar 4 tahun lebih. Masa-masa itulah yang
ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dengan pernyataannya, ”Aku
berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi
sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi selama empat tahun.”
Namun Abu Hurairah sendiri menjelaskan
dalam Shahih Bukhari, bahwa ia menemani Rasulullah selama 3 tahun. Seolah-olah
Abu Hurairah menghitung masa menjadi pengikut setia ‘mulazamah’ hanya selama 3
tahun, yaitu setelah kedatangan mereka dari Khaibar, atau ia tidak menghitung
waktu-waktu safar (perjalanan) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ;
baik untuk berperang, berhaji maupun umrah. Sebab, mulazamahnya ketika berada
di Madinah sangatlah berbeda dengan mulazamah sewaktu bepergian. Atau masa-masa
tersebut diartikan sebagai waktu ketika dia berada di Shuffah (menjadi Ahli
Shuffah) yang sangat bersemangat dan antusias. Sedangkan pada waktu lainnya,
sikap antusiasme tersebut tidak sebagaimana disebutkan. Wallahu a’lam. Atau
kurangnya hitungan masa tersebut dengan tidak memasukkan perhitungan saat
bepergian ke Bahrain tahun ke delapan Hijriah ditemani Al Alla’ Al Hadrami,
gubernur Nabi untuk wilayah Bahrain.
KEUTAMAAN YANG DIRAIH ABU HURAIRAH
Sungguh, masuknya Abu Hurairah ke
kalangan para sahabat, memberinya keutamaan bertambah. Dia mendapatkan pahala
sebagai sahabat Nabi, mendapatkan sifat ‘adalah (adil) yang menempel pada semua
sahabat yang telah ditetapkan dalam ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang
mulia. Barangsiapa yang menolaknya, berarti telah menolak Al Qur’an dan hadits
shahih serta ijma’ generasi /pertama dari kaum muslimin.
Dia mendapatkan keutamaan atas do’a
Rasulullah kepada kabilahnya, Daus, agar mendapat petunjuk. Juga mendapatkan
keutamaan Yaman, karena ia sebagai orang Yaman. Demikian juga mendapatkan
pahala hijrah kepada Allah dan RasulNya, karena hijrahnya sebelum penaklukan
kota Mekkah dan mendapatkan keutamaan do’a Rasulullah kepadanya. Sekaligus
mendapatkan keutamaan sebagai orang miskin dan Ahli Shuffah, pahala berjihad di
bawah panji Rasulullah serta pahala menghafal hadits Rasulullah dan
menyampaikannya.
CINTA ABU HURAIRAH KEPADA RASULULLAH
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Abu Hurairah sangat mencintai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketulusan cintanya diungkapkan dengan pernyataannya: “Wahai,
baginda Rasulullah. Ketika aku melihat engkau, bahagia kurasakan dalam diriku
dan sejuk pandanganku”. Kecintaan itu menanamkan perasaan mendalam terhadap
nama Rasulullah, sampai-sampai ia tidak mampu menguasai dirinya, terisak
menangis berkali-kali sampai pingsan.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan dengan
sanad hasan (baik) sampai kepada Syafi’i Al Ashbahi tentang gambaran nyata
cinta Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ketika kecintaannya itu sedang menguasai
dirinya.
Ketika Syafi’i memasuki Madinah,
tiba-tiba ada seseorang tengah dikelilingi banyak orang. Ia bertanya, ”Siapakah
orang itu?” Mereka menjawab, ”Abu Hurairah.” Lalu aku mendekatinya hingga duduk
di hadapannya, sedangkan ia sedang menyampaikan hadits kepada mereka. Ketika ia
diam dan sendirian, aku bertanya kepadanya, Aku tegaskan dengan
sebenar-benarnya, ketika anda menyampaikan kepadaku satu hadits yang anda
dengar dari Rasulullah, anda faham dan ketahui.” Lalu Abu Hurairah
menjawab,”Ya. Akan aku sampaikan kepadamu satu hadits yang telah disampaikan
Rasulullah kepadaku, aku faham dan ketahui,” lalu Abu Hurairah tertegun sampai
tercengang.
KESABARAN ABU HURAIRAH MENAHAN LAPAR
UNTUK BELAJAR
Abu Hurairah hidup pada zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Shuffah dalam keadaan faqir, tidak memiliki
harta, rumah dan mata pencaharian. Dia merasa cukup dengan kemudahan yang
diberikan Allah kepadanya dan kepada para ahlus shuffah, yaitu berupa hadiah
untuk mereka dan makanan yang dinikmati bersama dengan Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dia menyiapkan diri menemani dan mulazamah dengan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam semata, hanya karena ingin mendengarkan dan
menghafal seluruh sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan
untuk menyebarkannya. Juga untuk melihat perbuatan, keadaan, pergaulan dan
keputusan hukum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya ialah kisah
yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari Muhammad bin Sirin, ia berkata :
Kami pernah berada di sisi Abu Hurairah. Dia memakai dua helai pakaian yang
dicelup dengan tanah merah (berwarna merah) dari bahan katun, lalu ia
menariknya seraya mengucapkan, “Bakh, bakh!” Abu Hurairah menarik pakaiannya
seraya berkata,”Sungguh aku pernah terjatuh di antara mimbar Nabi dan kamar
Aisyah Radhiyallahu ‘anha dalam keadaan pingsan, lalu datanglah seseorang
dengan meletakkan kakinya di leherku. Dia menganggapku sudah gila, padahal aku
tidak gila. Tidak menimpaku, kecuali kelaparan.
ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU BERJIHAD
Abu Hurairah pun tidak tertinggal
melaksanakan tugas suci membela agama dengan berperang di jalan Allah,
sebagaimana nampak jelas keikut sertaannya dalam beberapa peperangan Nabi,
diantaranya:
1.
Keikutsertaannya dalam perang Khaibar dan perang di Wadi Al Qura’.
2.
Keikutsertaanya dalam Umratul Qadha (umrahpengganti).
3.
Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Dzatur Riqa’, sebagaimana disampaikan
Imam Al Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ”Aku shalat
bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peperangan yang kami mendapati
shalat khauf (shalat karena takut).” Juga dikuatkan oleh kisah yang
diriwayatakan Abu Dawud dari Urwah bin Zubair yang menceritakan dari Marwan bin
Al Hakam, bahwa ia bertanya kepada Abu Hurairah : “Pernahkah anda shalat
bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat khauf?” Abu Hurairah
menjawab,”Pernah.” Marwan bertanya,”Kapan?” Abu Hurairah menjawab,”Tahun
terjadinya perang Dzaturiqa.”
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu juga
hadir dalam mengusir sebagian bangsa Yahudi Madinah. Imam Al Bukhari
meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tentang pengusiran tersebut.
Ia berkata: Ketika kami di dalam masjid, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam
keluar, seraya bersabda, ”Berangkatlah menuju pemukiman Yahudi.” Kamipun keluar
hingga sampai di Baitul Midras.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,”Masuklah ke dalam agama Islam, niscaya anda selamat. Ketahuilah,
bahwa bumi ini milik Allah dan RasulNya. Dan aku akan mengusir kalian dari
tempat ini. Barangsiapa diantara kalian memiliki sedikit harta, maka juallah.
Jika tidak, ketahuilah bahwa daerah ini milik Allah dan RasulNya.” Kisah ini
diriwayatkan juga oleh Imam Muslim.
4.
Keikutsertaan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dalam Al Fath Al Akbar
(penaklukan Makkah), Hunain dan Thaif. Dipaparkan Imam Muslim dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Maukah aku ajarkan pada kalian satu hadits
tentang kalian, wahai seluruh kaum Anshar? (Lalu ia menyebut penaklukan kota
Mekkah), seraya berkata,”Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke
Mekkah. Setelah sampai disana, lalu Beliau mengangkat Az Zubair (sebagai
pemimpin pasukan) di salah satu sayap pasukan. Dan di sayap lainnya mengangkat
Khalid. Beliau juga mengutus Abu Ubaidah (memimpin) pasukan infantri yang tidak
berpakaian baju besi.
Mereka pun mengambil tempat dan posisi di
tengah-tengah lembah. Sementara itu, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada
dalam kelompok kecil (peleton) tersendiri. Beliau memandang sekeliling dan
melihatku, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,”Abu Hurairahkah
anda?” Aku pun menjawab, ”Kupenuhi panggilan engkau, wahai Rasulullah.” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidak boleh menemuiku, kecuali dari kalangan
Anshar -selain Syaiban, menambahkan-(tambahan dari salah seorang perawi hadits
ini). “Panggilkan kaum Anshar.” Dia Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Mereka pun
mengelilingi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan orang Quraisy
dengan seluruh kabilah dan pengikutnya berkumpul sambil berkata,”Kita dahulukan
mereka. Jika mereka mendapatkan sesuatu (kemenangan), kita pun akan (merasakan)
bersama mereka. Dan jika mereka mendapatkan musibah, kita akan berikan yang
diminta dari kita.” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,”Tidakkah
kalian menyaksikan kumpulan kabilah Quraisy dan pengikut pengikut mereka?” Lalu
Beliau meletakkan salah satu telapak tangannya di atas yang lainnya dan
berkata, ”Temuilah aku di Shafa.” Abu Hurairah berkata, ”Kami pun bergegas
berangkat. Maka tidak ada seorang pun dari kami yang ingin membunuh seseorang,
kecuali membunuhnya. Dan tidak seorang pun dari mereka menghadang kami,
sedikitpun.”
5.
Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Tabuk, sebagaimana diriwayatkan Imam
Ath Thahawi dengan sanad yang shahih sampai kepada beliau Radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata,”Kami keluar bersama Rasul n pada perang Tabuk.”
6.
Keikutsertaan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dalam perang Mu’tah.
7.
Keikutsertaannya menumpas gerakan pemurtadan (harakatu ar riddah), sebagaimana
telah diriwayatkan Imam Al Bukhari dalam kisah penumpasan Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu terhadap gerakan pemurtadan ini. Abu Hurairah berkata:
Ketika Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat dan Abu Bakar Radhiyallahu
‘anhu diangkat sebagai pengganti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta
kufurlah orang-orang yang kufur dari bangsa Arab. Umar bertanya kepada Abu
Bakar,”Wahai, Abu Bakar. Bagaimana anda akan memerangi mereka? Padahal Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi
manusia hingga mereka bersaksi ‘Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah’.
Karenanya, barangsiapa telah mengucapkannya, ia telah terjaga dariku harta dan
jiwanya, kecuali dengan cara yang haq. Dan hisab berikutnya berada pada
Allah’.” Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menjawab, ”Demi Allah. Aku akan memerangi
orang-orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, sebab zakat adalah haknya
harta. Demi Allah. Jika mereka menghalangiku meskipun cuma sedikit –dalam
riwayat lain (ikat kepala)- padahal sebelumnya (pada zaman Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam) mereka menunaikannya, niscaya aku perangi mereka karena
keengganannya (itu).” Umar pun menimpalinya,” Demi Allah. Tidaklah aku melihat,
melainkan Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka. Aku
pun mengetahui dia (berada) pada kebenaran. Imam Muslim, Abu Dawud dan An
Nasa’i juga memaparkan kisah ini. Tetapi lafadznya tidak menunjukkan
keikutsertaan Abu Hurairah dalam peperangan itu, kecuali dalam riwayat An
Nasa’i dengan sanad yang tidak kuat. Namun dalam riwayat Imam Ahmad dengan
sanad yang telah dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir, terdapat pernyataan Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu setelah pemaparannya mengenai kisah tersebut: “Kami
berperang bersama Abu Bakar, lalu kami memandangnya sebagai keputusan yang
sangat tepat”.
8.
Keikut sertaannya dalam perang Yarmuk, peperangan di Armenia dan daerah Jurjan,
sebagaimana dipaparkan Ibnu Asakir tentang kisah perang Yarmuk. Demikian juga
Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Al Ishabah menukil dari Ibnu Asakir juga.
Sedangkan Ibnu Khaldun memberikan
catatan, bahwa pada masa kekhalifahan Utsman, Abu Hurairah tinggal bersama
Gubernur Armenia Abdurrahman bin Rabi’ah. Ketika Abdurrahman terbunuh dalam
peperangan melawan Turki, sebagian tentaranya menuju Jailan dan Jurjan. Di
dalam barisan tentara tersebut terdapat Salman Al Farisi dan Abu Hurairah.
Abu Hurairah tidak hanya mencukupkan
dengan jihad yang terus-menerus, mencurahkan kemampuan dan pengorbanannya ini
saja, (tetapi) ia juga berharap menambah dengan yang lainnya.
Imam An Nasa’i meriwayatkan dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjanjikan kami untuk memerangi India. Jika aku mendapatinya, maka akan aku
korbankan jiwa dan hartaku. Karena jika aku terbunuh, maka aku adalah syuhada’
yang paling utama. Dan jika aku kembali, maka aku adalah Abu Hurairah, orang
yang dibebaskan dari api neraka (al muharrarah).
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz: Jika aku mendapatkan
syahid, maka aku menjadi sebaik-baiknya syuhada. Dan jika aku kembali (masih
hidup), maka aku adalah Abu Hurairah Al Muharrarah (terbebas dari api neraka).
Itulah gambaran singkat pribadi yang
agung seorang sahabat besar yang namanya sengaja dicaci maki secara membabi
buta oleh musuh-musuh Islam, kaum zindiq yang berkedok cinta ahli bait
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu Teraniaya
(1)
******************
ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU TERANIAYA (1)
Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
Mencela dan melecehkan para sahabat
dengan penghinaan dan tuduhan ngawur merupakan cara-cara pengikut iblis dan
musuh-musuh Islam. Mereka, sebenarnya bertujuan mencela dan merendahkan para
saksi kebenaran Islam, dan hendak mencela Rasulullah. Yaitu dengan menyatakan,
bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sahabat-sahabat yang jelek
dan tidak memilih sahabat yang baik saja. Dengan cara ini, mereka ingin
menghancurkan dan memadamkan cahaya Islam. Akan tetapi, mereka tidak akan
mampu. Allah tidak ingin cahaya agamaNya padam, bahkan Allah menyempurnakan
cahaya agamaNya, meskipun kaum kafir pengikut iblis tidak suka dan marah.
Mereka hendak memadamkan sunnah
Rasulullah dengan slogan-slogan yang seakan rahmat dan ilmiyah, namun
hakikatnya menyimpan dendam, penipuan besar dan pandir. Misalnya dengan
mengusung istilah “studi kritis hadits”, “studi ilmiah dan kebebasan
berpendapat”. Ini semua hanyalah tipuan belaka dan fatamorgana. Tujuannya satu,
yaitu menghancurkan Islam dengan segala cara. Oleh sebab itu, wahai kaum
muslimin. Berhati-hatilah terhadap racun yang ditebarkan dimana-mana untuk
merusak aqidah dan syariat kita.
Diantara sahabat yang menjadi sasaran
mereka adalah perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dialah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Dalam makalah
singkat ini, kami berusaha mengungkap beberapa tuduhan yang dilontarkan musuh
Islam.
kepada Abu Hurairah, yang merupakan tokoh
besar dalam periwayatan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami
berusaha membantah dan membedahnya dengan tetap memohon kemudahan dan petunjuk
Allah.
Berikut beberapa tuduhan dan kecaman para
musuh Islam yang dilontarkan secara zhalim atas diri Abu Hurairah.[1]
1.
Mereka [2] menyatakan.
Berbeda dengan para sahabat lain, para
ahli sejarah tidak dapat memastikan nama sebenarnya dari Abu Hurairah, namanya
dizaman jahiliyah maupun dizaman Islam. Begitu pula asal usulnya [3].
Juga menyatakan :
Abu Hurairah bukan sahabat besar, bukan
dari kaum muhajirin bukan Anshar, bukan penyair Rasul, bukan keluarga Rasul,
malah asal-usulnya, orang tuanya, bahkan nama aslinyapun tidak diketahui
orang.[4]
Tanggapan.
Memang Abu Hurairah lebih dikenal dengan
kunyah (julukannya) daripada namanya. Namun pernyataan diatas tidak benar
seluruhnya, dan tidak dapat dijadikan alasan untuk melecehkan Abu Hurairah.
Meskipun sejarah Abu Hurairah pada masa jahiliyah tidak dikenal, akan tetapi
hal itu merupakan satu kewajaran; karena bangsa Arab –seluruhnyatenggelam dalam
kejahiliyahan dan terkungkung di wilayah jazirahnya saja. Mereka tidak peduli
dengan keadaan dunia. Begitu juga dunia tidak peduli dengan keadaan dan kondisi
mereka, kecuali yang berhubungan dengan perniagaan, karena melintasi wilayah
mereka.
Baru, ketika Islam datang, Allah
memuliakan dan menjadikan mereka sebagai pengemban risalahNya. Jadilah setiap
individu dari mereka memiliki sejarah yang ditulis menjadi bahan pembicaraan.
Dan para perawi, selalu memperhatikan berita mereka. Dan mereka pun memiliki
murid yang selalu mengambil ilmu dan petunjuk dari mereka
Para ahli sejarah mengetahui, bahwa
terkenalnya seseorang dengan gelar atau julukannya merupakan perkara biasa dan
wajar. Bahkan, terkadang seseorang berselisih dalam hal nama dan kunniyah
(julukan)nya, sebagaimana khalifah pertama lebih dikenal dengan gelarnya, yaitu
Abu Bakar. Begitu juga dengan Abu Ubaidah, Abu Dujanah dan Abu Darda’. Mereka
adalah tokoh-tokoh besar dan pahlawan dari kalangan sahabat. Namun lebih lebih
dikenal dengan gelar-gelar mereka, hingga sebagian besar manusia tidak
mengetahui nama mereka yang sebenarnya. Kita belum pernah mendengar, pada kurun
waktu tertentu, bahwa kedudukan dan keturunan dapat menentukan penghargaan
intelektualitas.[5] Karenanya, celaan dan pelecehan terhadap Abu Hurairah yang
lebih dikenal dengan julukannya tersebut melebihi namanya adalah tidak benar.
Apalagi para ulama Islam telah merajihkan namanya pada zaman Jahiliyah adalah
Abdu Syamsi, dan setelah Islam berganti menjadi Abdurrahman. Kemudian tuduhan,
bahwa dia tidak jelas asal usulnya, juga merupakaan satu kebodohan dari para
penuduh ini, karena asal-usul dan nasab Abu Hurairah cukup terhormat.[6]
Apakah ihwal Abu Hurairah dalam hal ini
berbeda dengan ihwal sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lainnya? Lalu, mengapa ketidak jelasan sejarah kehidupan Abu Hurairah pada masa
jahiliyah merusak kedudukan dan menghancurkan posisinya dalam Islam? Apakah
Kitabullah ada menyebutkan, bahwa orang yang tidak dikenal sejarahnya sebelum
Islam harus direndahkan dan dilecehkan posisi dan kedudukannya, serta diragukan
semua riwayatnya berkaitan dengan haditshadits Rasul? Maha Suci Allah,
sesungguhnya ini merupakan tuduhan dan tipu daya yang besar. [7]
2.
Mereka menyatakan.
Abu Hurairah ada di Madinah hanya 1 tahun
9 bulan di Shuffah. Abu Hurairah datang kepada Rasulullah pada bulan Safar
tahun 7 Hijriyah, setelah perang Khaibar dan tinggal di emperan Masjid Madinah
(Shuffah) sampai bulan Zulkaidah tahun 8 Hijriyah, karena pada bulan itu ia
disuruh Rasul ke Bahrain menemani Al Ala’ Al Hadhrami sebagai muadzdzin. [8]
Tanggapan
Pernyataan ini tidak benar. Sebab Abu
Hurairah bersahabat dengan Nabi sekitar 4 tahun lebih. [9] Sebagaimana
ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dengan pernyataannya:
لَقِيتُ
رَجُلًا
صَحِبَ
النَّبِيَّ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
أَرْبَعَ
سِنِينَ
كَمَا
صَحِبَهُ
أَبُو
هُرَيْرَةَ
Aku berteman dan berjumpa dengan
orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah
dengan Nabi selama empat tahun.[10]
Sedangkan kepergian Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu menemani Al Ala’ Al Hadhrami, tidak menunjukkan bila beliau
menetap disana sampai Rasulullah meninggal, apalagi adanya riwayat yang
menyatakan beliau bermulazamah dengan Nabi selama empat tahun. Demikian juga
pendapat yang didukung riwayat otentik, menunjukkan beliau ikut serta perang
Khaibar meskipun tidak seluruhnya [11] dan mengikuti haji bersama Abu Bakar Ash
Shidiq tahun 9H.
3.
Mereka menyatakan.
Ia sendiri menceritakan bahwa ia
mendatangi Rasul bukan karena ia mendapat hidayah atau karena kecintaannya
kepada Nabi SAW seperti yang lain, tetapi untuk mendapatkan makanan.
Dalam riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim,
Abu Hurairah berkata: “Aku adalah seorang miskin, aku bersahabat dengan Rasul
Allah untuk mengisi perutku.” Dan dalam riwayat lain: “Untuk memenuhi perutku
yang lapar.” Dalam riwayat Muslim: “Aku melayani Rasul Allah untuk mengisi
perutku.” atau “Aku menetap dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku” [12]
Kemudian mereka menyatakan lagi :
Ia juga punya hobi makan. Karena
kesukaannya yang berlebihan akan makanan, maka sering juga disebut sebagai
pembawa ‘hadis lesung’ (lesung-al-mihras- alat untuk menumbuk dan mengulek
makanan. Lihat, “Hadits Lalat” dan “Hadits Pundi-pundi”) [13]
Tanggapan.
Riwayat-riwayat yang dipakai mereka
sebagai dasar tuduhan terhadap Abu Hurairah, bahwa beliau melakukan aktivitas
mendengar hadits Rasulullah hanya untuk mencari sesuap nasi yang mengenyangkan
perutnya; dengan kata lain, melakukannya hanya karena dunia yang rendah, memang
diriwayatkan secara shahih dengan lafadz:
أَنَّ
أَبَا
هُرَيْرَةَ
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُ
قَالَ
إِنَّكُمْ
تَقُولُونَ
إِنَّ
أَبَا
هُرَيْرَةَ
يُكْثِرُ
الْحَدِيثَ
عَنْ
رَسُولِ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
وَتَقُولُونَ
مَا
بَالُ
الْمُهَاجِرِينَ
وَالْأَنْصَارِ
لَا
يُحَدِّثُونَ
عَنْ
رَسُولِ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
بِمِثْلِ
حَدِيثِ
أَبِي
هُرَيْرَةَ
وَإِنَّ
إِخْوَتِي
مِنْ
الْمُهَاجِرِينَ
كَانَ
يَشْغَلُهُمْ
صَفْقٌ
بِالْأَسْوَاقِ
وَكُنْتُ
أَلْزَمُ
رَسُولَ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
عَلَى
مِلْءِ
بَطْنِي
فَأَشْهَدُ
إِذَا
غَابُوا
وَأَحْفَظُ
إِذَا
نَسُوا
وَكَانَ
يَشْغَلُ
إِخْوَتِي
مِنْ
الْأَنْصَارِ
عَمَلُ
أَمْوَالِهِمْ
وَكُنْتُ
امْرَأً
مِسْكِينًا
مِنْ
مَسَاكِينِ
الصُّفَّةِ
أَعِي
حِينَ
يَنْسَوْنَ
Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: Kalian
akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah
tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan “Mengapa orang-orang Al
Muhajirin dan Anshor tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu
Hurairah?” Sungguh, saudarasaudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jualbeli
di pasar. Sedangkan saudara-saudaraku dari Anshor disibukkan oleh pengelolaan
harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah n
selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan
paham saat mereka lupa. [14]
Pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu
dalam lafadz pertama “Allah-lah tempat (membuktikan) janji” maksudnya adalah,
bahwa Allah akan menghisabku jika aku sengaja berdusta, (dan) sekaligus akan
menghisab orang-orang yang menuduhku dengan tuduhan yang keji.[15]. Adapun
pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu : “selama perutku berisi”, yakni merasa
telah puas dengan sesuap makanan, sehingga selalu hadir di sisi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam [16]
Dengan demikian, tuduhan terhadap beliau
Radhiyallahu ‘anhu sangat dipaksakan dan tidak ilmiyah. Hal itu karena Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tidak sekedar menceritakan persahabatannya semata,
sebagaimana persahabatan yang dimiliki sahabat lainnya. Namun, dalam
pernyatannya tersebut, beliau Radhiyallahu ‘anhu juga ingin menceritakan
keistimewaan (yang dimilikinya). Keistimewaan tersebut adalah kebersamaannya
dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dimiliki sahabat
lainnya.
Keistimewaan tersebut dijelaskan dengan
caranya (yang) tawadhu’, dengan menyatakan: “Selama perutku berisi”, lalu
menyebutkan keistimewaan para sahabat lainnya, sebagai orang-orang yang mampu
dan kuat mencari penghidupan. Hal ini, demi Allah, merupakan kesantunan yang
luar biasa.[17]
Tuduhan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
banyak makan dan ambisi mendapatkan makanan, serta bersahabat dengan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya karena makanan, bukan karena hidayah Islam
atau kecintaan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh ini
merupakan tuduhan keji yang hanya dilontarkan oleh orang yang hasad atau orang
yang memiliki kerusakan syaraf. Jika tidak, bagaimana mungkin seorang yang
berakal dapat membenarkan pemahaman, bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
sanggup meninggalkan negerinya, kabilah dan tanah airnya demi menjumpai Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya (sekadar) untuk makan dan minum semata?
Apakah Abu Hurairah Radhiyallahu a’nhu di
kabilahnya tidak mendapatkan makan dan minum? Lalu untuk apa Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu datang ke Madinah? Apakah di negerinya ia tidak bisa
mendapat makanan dan minuman sebagaimana yang diperoleh para petani dan pedagang
disana? Tuduhan ini betul-betul pelecehan terhadap sahabat yang mulia ini. Dan
para penuduh lebih layak dilecehkan dan diragukan keikhlasannya dibandingkan
beliau Radhiyallahu ‘anhu. Sejauh inikah kebutaan hati dan kedengkian mereka?
Kemudian dalam pernyataan mereka ini
terdapat penyimpangan makna, karena dalam riwayat tersebut bukan dengan lafazh
“shuhbah” (bersahabat). Padahal yang benar, ialah sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam Al Bukhari dengan lafazh “alzamu” (selalu menemani dan mengikuti).
Demikian juga Imam Muslim meriwayatkannya
dengan lafadz: “Aku adalah seorang miskin yang melayani Rasul selama perutku
berisi”. Hal ini menunjukkan penyimpangan yang jelas dari pernyataan beliau
Radhiyallahu ‘anhu, sebab kata “persahabatan” (shuhbah) tidak sama dengan kata
“mulazamah” dan “al khidmah” (melayani dan membantu). Sehingga pernyataan
beliau Radhiyallahu ‘anhu ini untuk menjelaskan sebab banyaknya periwayatan
beliau terhadap hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti telah
jelas dari alur pernyataannya.
Para penuduh ini, disamping telah
melakukan tahrif (penyimpangan) di atas, mereka juga memotong pernyataan beliau
Radhiyallahu ‘anhu sehingga merubah konotasi maknanya, sehingga terfahami bahwa
pendorong utama persahabatan beliau adalah mencari sesuap makanan. Padahal
semua itu beliau katakan untuk menjelaskan sebab yang menjadikannya sebagai
sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Demikianlah, tahrif (menyimpangkan
sesuatu dari lafazh atau makna sebenarnya), sudah menjadi adat kebiasaan orang
yang menyimpang dari jalan lurus dan penyembah hawa nafsu.
Dari manakah mereka mengklaim
(menganggap) diri mampu mengungkapkan secara benar dan jelas sebab persahabatan
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?
Apakah mereka lebih tahu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
telah memberikan pengakuan dan pujiannya kepada Abu Hurairah?[18]
Mereka tidak cukup hanya dengan itu,
bahkan menyatakan, bahwa makna lafazh (عَلَى)
pada perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu (‘عَلَىمِلء
بَطْنِيْ)
bermakna untuk yang menunjukkan sebab. Ini juga merupakan kedustaan dan
penipuan lain, sekaligus sebagai bukti bila mereka selalu mencari jalan untuk
menjatuhkan pribadi Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
Pernyataan Abu Hurairah ini telah
difahami dengan benar oleh para ulama Islam, seperti pernyataan Imam Nawawi
ketika menjelaskan perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu (ala mil’i
bathni): maknanya, aku senantiasa mulazamah dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Aku rela dengan makananku. Aku tidak mengumpulkan harta untuk
simpanan dan tidak untuk yang lainnya. Dan akupun tidak berusaha menambah porsi
makanan bagiku. Adapun maksud pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu “melayani”,
bukan sebagai upaya untuk memperoleh gaji atau upah. [19] Sungguh sangat jelas
kebatilan tuduhan ini.
4.
Mereka menyatakan.
Ia mendatangi para sahabat seperti ‘Umar
dan Abu Bakar dengan berpura-pura meminta dibacakan sebuah ayat Al Qur’an,
menurut pengakuannya sendiri, padahal ia ingin agar ditawari makanan, tetapi
tiada seorang sahabatpun menawarkan makanan kepadanya, kecuali Ja’far bin Abi
Thalib, yang langsung mengajak Abu Hurairah ke rumahnya.
Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah:
“Demi Allah, tiada lain kecuali Dia, aku sering menekan perutku ke bumi karena
lapar, dan pada suatu hari, karena lapar, aku sering menekan perutku dengan
batu sambil duduk di jalan tempat mereka keluar dari masjid. Aku bertemu dengan
Abu Bakar dan aku bertanya kepadanya tentang ayat kitab Allah, dan aku tidak
menanyainya kecuali (dengan maksud) agar dia memberi aku makan; tapi ia berlalu
dan tidak melakukannya. Dan ‘Umar bertemu denganku dan aku bertanya mengenai
ayat kitab Allah, aku tidak bertanya (kepadanya) kecuali agar ia mengajak aku makan,
dan ia tidak melakukannya.
Bukhari : “Aku bila bertanya mengenai
sebuah ayat (Al Qur’an) kepada Ja’far (bin Abu Thalib), maka dia tidak akan
menjawab kecuali setelah ia mengajakku ke rumahnya”. Di bagian lain : “Aku
meminta kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk membacakan kepadaku ayat (Al
Qur’an), yaitu artinya, agar dia memberi aku makan, dan dia (Ja’far bin Abu
Thalib) adalah orang yang paling baik terhadap orang miskin. Ia mengajak kami
ke rumahnya dan memberi kami makan seadanya.” [20]
Tanggapan.
Kisah ini dibawakan imam Al Bukhari yang
lengkapnya berbunyi:
اللَّهِ
الَّذِي
لَا
إِلَهَ
إِلَّا
هُوَ
إِنْ
كُنْتُ
لَأَعْتَمِدُ
بِكَبِدِي
عَلَى
الْأَرْضِ
مِنْ
الْجُوعِ
وَإِنْ
كُنْتُ
لَأَشُدُّ
الْحَجَرَ
عَلَى
بَطْنِي
مِنْ
الْجُوعِ
وَلَقَدْ
قَعَدْتُ
يَوْمًا
عَلَى
طَرِيقِهِمْ
الَّذِي
يَخْرُجُونَ
مِنْهُ
فَمَرَّ
أَبُو
بَكْرٍ
فَسَأَلْتُهُ
عَنْ
آيَةٍ
مِنْ
كِتَابِ
اللَّهِ
مَا
سَأَلْتُهُ
إِلَّا
لِيُشْبِعَنِي
فَمَرَّ
وَلَمْ
يَفْعَلْ
ثُمَّ
مَرَّ
بِي
عُمَرُ
فَسَأَلْتُهُ
عَنْ
آيَةٍ
مِنْ
كِتَابِ
اللَّهِ
مَا
سَأَلْتُهُ
إِلَّا
لِيُشْبِعَنِي
فَمَرَّ
فَلَمْ
يَفْعَلْ
ثُمَّ
مَرَّ
بِي
أَبُو
الْقَاسِمِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
فَتَبَسَّمَ
حِينَ
رَآنِي
وَعَرَفَ
مَا
فِي
نَفْسِي
وَمَا
فِي
وَجْهِي
ثُمَّ
قَالَ
يَا
أَبَا
هِرٍّ
قُلْتُ
لَبَّيْكَ
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ
قَالَ
الْحَقْ
وَمَضَى
فَتَبِعْتُهُ
فَدَخَلَ
فَاسْتَأْذَنَ
فَأَذِنَ
لِي
فَدَخَلَ
فَوَجَدَ
لَبَنًا
فِي
قَدَحٍ
فَقَالَ
مِنْ
أَيْنَ
هَذَا
اللَّبَنُ
قَالُوا
أَهْدَاهُ
لَكَ
فُلَانٌ
أَوْ
فُلَانَةُ
قَالَ
أَبَا
هِرٍّ
قُلْتُ
لَبَّيْكَ
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ
قَالَ
الْحَقْ
إِلَى
أَهْلِ
الصُّفَّةِ
فَادْعُهُمْ
لِي
قَالَ
وَأَهْلُ
الصُّفَّةِ
أَضْيَافُ
الْإِسْلَامِ
لَا
يَأْوُونَ
إِلَى
أَهْلٍ
وَلَا
مَالٍ
وَلَا
عَلَى
أَحَدٍ
إِذَا
أَتَتْهُ
صَدَقَةٌ
بَعَثَ
بِهَا
إِلَيْهِمْ
وَلَمْ
يَتَنَاوَلْ
مِنْهَا
شَيْئًا
وَإِذَا
أَتَتْهُ
هَدِيَّةٌ
أَرْسَلَ
إِلَيْهِمْ
وَأَصَابَ
مِنْهَا
وَأَشْرَكَهُمْ
فِيهَا
فَسَاءَنِي
ذَلِكَ
فَقُلْتُ
وَمَا
هَذَا
اللَّبَنُ
فِي
أَهْلِ
الصُّفَّةِ
كُنْتُ
أَحَقُّ
أَنَا
أَنْ
أُصِيبَ
مِنْ
هَذَا
اللَّبَنِ
شَرْبَةً
أَتَقَوَّى
بِهَا
فَإِذَا
جَاءَ
أَمَرَنِي
فَكُنْتُ
أَنَا
أُعْطِيهِمْ
وَمَا
عَسَى
أَنْ
يَبْلُغَنِي
مِنْ
هَذَا
اللَّبَنِ
وَلَمْ
يَكُنْ
مِنْ
طَاعَةِ
اللَّهِ
وَطَاعَةِ
رَسُولِهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
بُدٌّ
فَأَتَيْتُهُمْ
فَدَعَوْتُهُمْ
فَأَقْبَلُوا
فَاسْتَأْذَنُوا
فَأَذِنَ
لَهُمْ
وَأَخَذُوا
مَجَالِسَهُمْ
مِنْ
الْبَيْتِ
قَالَ
يَا
أَبَا
هِرٍّ
قُلْتُ
لَبَّيْكَ
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ
قَالَ
خُذْ
فَأَعْطِهِمْ
قَالَ
فَأَخَذْتُ
الْقَدَحَ
فَجَعَلْتُ
أُعْطِيهِ
الرَّجُلَ
فَيَشْرَبُ
حَتَّى
يَرْوَى
ثُمَّ
يَرُدُّ
عَلَيَّ
الْقَدَحَ
فَأُعْطِيهِ
الرَّجُلَ
فَيَشْرَبُ
حَتَّى
يَرْوَى
ثُمَّ
يَرُدُّ
عَلَيَّ
الْقَدَحَ
فَيَشْرَبُ
حَتَّى
يَرْوَى
ثُمَّ
يَرُدُّ
عَلَيَّ
الْقَدَحَ
حَتَّى
انْتَهَيْتُ
إِلَى
النَّبِيِّ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
وَقَدْ
رَوِيَ
الْقَوْمُ
كُلُّهُمْ
فَأَخَذَ
الْقَدَحَ
فَوَضَعَهُ
عَلَى
يَدِهِ
فَنَظَرَ
إِلَيَّ
فَتَبَسَّمَ
فَقَالَ
أَبَا
هِرٍّ
قُلْتُ
لَبَّيْكَ
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ
قَالَ
بَقِيتُ
أَنَا
وَأَنْتَ
قُلْتُ
صَدَقْتَ
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ
قَالَ
اقْعُدْ
فَاشْرَبْ
فَقَعَدْتُ
فَشَرِبْتُ
فَقَالَ
اشْرَبْ
فَشَرِبْتُ
فَمَا
زَالَ
يَقُولُ
اشْرَبْ
حَتَّى
قُلْتُ
لَا
وَالَّذِي
بَعَثَكَ
بِالْحَقِّ
مَا
أَجِدُ
لَهُ
مَسْلَكًا
قَالَ
فَأَرِنِي
فَأَعْطَيْتُهُ
الْقَدَحَ
فَحَمِدَ
اللَّهَ
وَسَمَّى
وَشَرِبَ
الْفَضْلَةَ
Demi, Allah. Tidak ada sesembahan yang
benar, kecuali Dia. Sungguh aku tempelkan perutku ke tanahkarena lapar dan aku ganjal
perutku dengan batu menahan lapar. Sungguh, pada suatu hari aku duduk di jalan
yang biasa mereka pakai pulang dari (bertemu) Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wa
sallam. Lalu Abu Bakar melintasi jalan itu. Aku pun bertanya kepadanya tentang
satu ayat Al Qur’an. Dan tidaklah aku menanyakannya, kecuali agar Abu Bakar
menjamuku. Dia pun melewatiku dan tidak berbuat apa-apa. Lalu melintas di jalan
itu, Umar bin Al Khaththab. Aku pun bertanya kepadanya satu ayat Qur’an. Dan
tidaklah kutanyakan hal itu, kecuali agar ia menjamuku. Namun ia pun melintas
dan tidak berbuat apa-apa. Kemudian setelah itu Abul Qasim Muhammad Shalalllahu
‘alaihi wa sallam.melintas di jalan itu seraya tersenyum ketika memandangku.
Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. mengetahui yang sedangbergejolak dalam
hatiku dan yang tersirat dariwajahku. Kemudian Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa
sallam. memanggilku,”Wahai,Abu Hirr,” aku pun menjawabnya,”Aku penuhi
panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, ”Ikuti aku.” Beliau beranjak
meninggalkanku dan aku pun mengiringi di belakang Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau masuk rumah dan aku pun meminta izin dan diizinkan. Ketika
Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. memasuki rumah, Beliau mendapati susu
dalam gelas besar (bejana). Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam.
bertanya,”Darimana susu ini?” Mereka (isteri-isteri Beliau Shalalllahu ‘alaihi
wa sallam ) Radhiyallahu ‘anhum menjawab,”Hadiah dari fulan atau fulanah untuk
engkau.” Beliaupun memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.”Aku pun menjawabnya,”Kupenuhi
panggilanmu,wahai Rasul.” Beliau bersabda,”Temuilah Ahlush Shuffah dan
undanglah mereka kesini.” Kata Abu Hurairah, Ahlush Shuffah adalah tamu Islam.
Mereka tidak bersandar kepada keluarga tertentu. Tidak memiliki harta dan
famili seorang pun juga. Jika datang kepada Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa
sallam. shadaqah, Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. kirimkan makanan
tersebut kepada mereka dan sama sekali tidak ikut mencicipi makanan tersebut.
Jika datang kepada Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. berupa hadiah
(untuknya), maka Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam pun mengirimkannya kepada
Ahlush Shuffah dan ikut bersama menikmatinya. Hal itu kurang berkenan bagiku,
maka aku berkata (dalam hati),”Apakah susu ini cukup untuk Ahlush Suffah?! Menurutku,
akulah yang berhak pertama kali meminum susu agar aku menjadi kuat dengannya.
Maka ketika Beliau datang, Beliau memerintahkan kepadaku untuk membagikannya
kepada mereka. Padahal, mungkin susu itu tidak akan sampai kepadaku. Namun,
mentaati Allah dan RasulNya merupakan keharusan, maka akupun mendatangi dan
mengundang mereka. Lalu mereka datang dan mohon izin masuk. Kemudian Beliau
Shalalllahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkannya.Lalu mereka mengambil posisi
masing-masing di tempat yang ada di rumah Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku pun menjawabnya,”Kupenuhi
panggilanmu, wahai Rasul ….” Beliau bersabda lagi,”Ambil dan bagikan kepada
mereka.” Aku pun mengambil gelas dan memberikannya kepada salah seorang (diantara
mereka); ia meminumnya hingga puas dan kenyang, lalu ia kembalikan gelas itu
dan aku berikan kepada orang lain; lalu meminumnya sampai puas dan kenyang.
Begitu seterusnya hingga berakhir kepada Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa sallam.
dalam keadaan seluruh Ahlush Shufah kenyang. Lalu Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa
sallam. mengambil gelas tadi dan meletakkannya di atas tangan Beliau
Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Seraya memandangku sambil tersenyum dan
bersabda,”Wahai, Abu Hirr! Tinggal aku dan kamu (yang belum minum). Aku
menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Duduk dan minumlah.”
Akupun duduk dan meminumnya. Lalu Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam.
bersabda lagi,”Minumlah,” lalu aku minum. Beliau terus memerintahkan kepadaku
minum, sehingga aku berkata,”Cukup. Demi yang mengutusmu dengan kebenaran,
tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku. Beliau
bersabda,”Berikanlah kepadaku,” aku pun menyerahkan gelas tadi, kemudian Beliau
Shalalllahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah dan meminum susu yang tersisa. [21]
Mereka berdalih dengan kisah ini untuk
menguatkan pernyataan mereka dalam mencela Abu Hurairah sebagai orang yang
beramal untuk sesuap makanan. Akan tetapi, apakah karena kejadian tersebut,
lalu kita tolak seluruh hadits-hadits beliau, hingga sampai menghina sebagai
orang yang memiliki hobi makan dan disebut sebagai pembawa hadits lesung?!
Orang yang meneliti kehidupan para
sahabat akan mendapatkan bahwa dalam hal seperti ini, beliau Radhiyallahu ‘anhu
tidak sendirian. Ada diantara sahabat yang berbuat hal serupa, diantaranya
Watsilah bin Al Asqa’ sebagaimana diriwayatkan Al Hakim dengan lafazh:
“Kami tinggal selama tiga hari. Setiap
orang yang menuju masjid mengajak dua dan tiga orang sesuai dengan
kemampuannya, dan memberi mereka makan”. Beliau berkata lagi,”Aku termasuk yang
tidak dibawa selama tiga hari tiga malam. Tiba tiba aku melihat Abu Bakar di
kegelapan malam. Aku pun mendatanginya dan memintanya untuk membacakan surat
Saba’ hingga sampai di rumahnya. Aku berharap ia mengundangku makan malam. Lalu
ia pun membacakannya kepadaku hingga depan pintu rumahnya, kemudian berhenti di
depan pintu sampai selesai membacakan seluruhnya. Kemudian ia masuk dan
meninggalkanku di luar. Kemudian aku menemui Umar. Aku berbuat seperti itu dan
ia (pun) berbuat serupa dengan perbuatan Abu Bakar terdahulu. Keesokan harinya,
pagi-pagi aku menemui Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal
tersebut padanya, dan Beliaupun menjamuku.” [22]
Apakah kita menolak seluruh hadits Waatsilah
karena peristiwa ini?
Sedangkan kisah Abu Haurairah dengan
Ja’far bin Abu Thalib dibawakan imam Bukhori dengan lafadz:
خَيْرُ
النَّاسِ
لِلْمَسَاكِينِ
جَعْفَرُ
بْنُ
أَبِي
طَالِبٍ
يَنْقَلِبُ
بِنَا
فَيُطْعِمُنَا
مَا
كَانَ
فِي
بَيْتِهِ
حَتَّى
إِنْ
كَانَ
لَيُخْرِجُ
إِلَيْنَا
الْعُكَّةَ
لَيْسَ
فِيهَا
شَيْءٌ
فَنَشْتَقُّهَا
فَنَلْعَقُ
مَا
فِيهَا
Sebaik-baik manusia terhadap orang miskin
adalah Ja’far bin Abu Thalib. Dia terus mengunjungi kami dan memberi makan kami
apa yang ada di rumahnya, sampai-sampai membawa tempat makanan tanpa berisi
makanan. Kami pun memegangnya, lalu menjilati sisa yang ada di tempat makanan
tersebut. [23]
Lihatlah perbedaan dan penukilan
sembarangan yang menjadi ciri khas ahli bid’ah dan musuh Islam!
5.
Mereka menyatakan:
Keperibadian Abu Hurairah lemah. Tatkala
kembali dari Bahrain, Umar bin Khaththab mencurigainya menggelapkan uang baitul
mal. ‘Umar menuduhnya sebagai pencuri dan menyebutnya sebagai musuh Allah dan
musuh kaum muslimin, dalam riwayat lain, musuh Kitab atau musuh Islam. [24]
Tanggapan.
Pernyataan mereka ini berdasarkan riwayat
yang disampaikan Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih tentang kisah kepulangan
Abu Hurairah dari tugasnya sebagai Amir (Gubernur) Bahrain. Beliau menghadap
Umar bin Khaththab dengan membawa uang sebanyak 400.000 dari Bahrain. Umar
Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepadanya: “Apakah engkau menzhalimi seseorang?”Ia
menjawab,”Tidak.” Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, ”Apakah engkau
mengambil sesuatu dengan tidak benar?” Ia menjawab, ”Tidak.” Umar Radhiyallahu
‘anhu bertanya lagi, ”Berapa banyak yang engkau bawa untuk pribadi?” Ia
menjawab, ”Sebanyak 20.000.” Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya, ”Dari mana
engkau mendapatkannya?” Ia menjawab, ”Aku berdagang.” Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata,
”Hitunglah modal dan rizkimu (gajimu), maka ambillah. Sedang yang lainnya
simpanlah diBaitul Mal.” [25]
Dalam lafazh Abu Ubaid, (disebutkan) Umar
berkata kepadanya: “Wahai, musuh Allah dan musuh KitabNya. Apakah engkau
mengambil (mencuri) harta?” Ia menjawab,”Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh
KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya dan aku
tidak mencuri harta Allah.” Umar bertanya kembali: “Dari mana terkumpul untukmu
uang sejumlah 10.000 dirham?” Ia menjawab,”Kudaku berkembang biak. Pemberian
untukku selalu aku dapatkan. Begitu juga sahamku (bagianku dari pembagian
rampasan perang) juga berkembang dan bertambah.” Lalu Umar mengambilnya dariku.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Ketika kutunaikan shalat Shubuh, aku
mintakan ampunan untuk Amirul mukminin.” [26]
Perhatikanlah! Bagaimana para musuh Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu memanfaatkan perkataan keras Umar Radhiyallahu
‘anhu ini untuk mencaci Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, kemudian menuduhnya
telah mencuri dan merampas; padahal permasalahannya tidaklah demikian. Umar
Radhiyallahu ‘anhu melakukan pengambilan sebagian harta tersebut terhadap
beberapa pejabatnya [27] dan tidak mengkhususkan kepada Abu Hurairah saja.
Sebabnya, ketika Amr bin Ash Sha’iq melihat harta para pejabat semakin
bertambah banyak, ia merasa aneh, lalu menulis surat kepada Umar bin Al
Khaththab dalam bentuk bait-bait syi’ir. [28] Lalu Umar Radhiyallahu ‘anhu pun
mengirim utusan kepada para petugas. Diantara mereka adalah Sa’ad Radhiyallahu
‘anhu, dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, lalu ia mengambil harta mereka
menjadi setengah bagian. [29] Begitu juga ia memutasi Abu Musa Al Asy’ari dari
tugas di Bashrah, dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. Demikian juga pada Al
Haarits bin Wahb.[30]
Umar Radhiyallahu ‘anhu tidaklah menuduh
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dan tidak juga hanya mengambil harta miliknya
saja. Bahkan itulah sistem politik Umar Radhiyallahu ‘anhu terhadap para
pejabatnya; bukan atas dasar syubhat, namun itu merupakan ijtihad dan kehebatan
beliau dalam mengatur perkara-perkara kaum muslimin. [31] Sungguh Umar
Radhiyallahu ‘anhu sangat mencintai sahabat, sebagaimana ia mencintai dirinya.
Dan beliau sangat tidak suka, bila salah seorang dari mereka mendapatkan harta
yang berbau syubhat. Perbuatan beliau ini banyak diriwayatkan dalam perjalanan
hidupnya.[32]
Khalifah Umar Radhiyallahu ‘anhu khawatir
atas mereka. Jangan-jangan orang bermu’amalah dalam perdagangan dan usaha
dengan mereka karena jabatan yang disandangnya. Karenanya, beliau mengambil
sebagian dari harta mereka dan meletakkannya di Baitul Mal agar terlepas
tanggungjawabnya di hadapan Allah Ta’ala. Kemudian ia pun memberikan kepada
mereka dari harta Baitul Mal sesuai jumlah yang layak. Dengan demikian menjadi
halallah bagi mereka, tanpa ada syubhat. [33]
Para penuduh tersebut hanya memandang dan
menukil riwayat ini sesuai dengan keinginannya, lalu menjadikanya sebagai
senjata untuk menyerang sahabat Abu Hurairah dan menuduhnya berkepribadian
lemah, tanpa menyebutkan riwayatnya secara lengkap. Padahal dalam riwayat
tersebut terdapat bantahan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu terhadap Umar
Radhiyallahu ‘anhu , yaitu ketika Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya
“Wahai, musuh Allah dan musuh kitabNya. Apakah engkau telah mencuri harta
Allah?”, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Aku bukan musuh Allah dan
bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang
keduanya.”
Dengan demikian jelaslah, bahwa Umar
tidak mencurigai dan menuduh Abu Hurairah mencuri. Hal ini dibuktikan dengan
keinginannya mengangkat kembali Abu Hurairah untuk kedua kalinya. Sebagaimana
diriwayatkan Abu Ubaid setelah riwayat di atas dengan bunyi: “Kemudian, setelah
itu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku: “Bukankah engkau mau bertugas
kembali?” Aku menjawabnya: “Tidak”. Ia berkata: “Mengapa (tidak mau), padahal
telah bertugas orang yang lebih baik darimu, yakni Yusuf”. Akupun menimpalinya,
”Sesungguhnya Yusuf seorang nabi dan anak seorang nabi pula. Sedangkan aku adalah
anak Umaimah, dan aku takut tiga dan dua”. Umar Radhiyallahu ‘anhu
berkata,”Kenapa engkau tidak berkata lima?” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
menjawab,”Aku takut berbicara tanpa dasar ilmu dan memutuskan tanpa hilm (sabar
dan hati-hati).” Atau ia berkata: “Aku berkata tanpa hilm (sabar dan
hati-hati), dan aku memutuskan perkara tanpa dasar ilmu”.
Seorang perawi (dari Ibnu Sirin.)
berkata: “Keraguan ini berasal dari Ibnu Sirin”. (Lalu Abu Hurairah berkata
lagi, Edt),”Dan aku takut akan dipukul punggungku dan dicela kehormatanku dan
diambil hartaku dengan paksa.” [34]
Seandainya Umar Radhiyallahu ‘anhu telah
mengetahui Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu pernah berkhianat, niscaya tidak
akan memakainya sama sekali dan tidak akan memanggilnya untuk kedua kalinya.
Seandainya Khalifah Umar Radhiyallahu ‘anhu meragukan sedikit saja sifat amanah
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, tentu beliau akan menghakimi dan menghukumnya
dengan hukuman syar’i. Beliau telah mengetahui sifat amanah dan keikhlasannya,
maka beliaupun kembali menemui Abu Hurairah meminta menjadi pejabat beliau.[35]
Komentar