Kisah Abu Hurairah R.A

biografi singkat abu hurairah

Seluk Beluk Nama Abu Hurairah

Abdurahman bin Sakhr merupakan nama asli dari sahabat yang akrab kita dengar dengan Abu Hurairah. Beliau di panggil Abu Hurairah  karena di waktu kecil ia di perintahkan untuk mengembala beberapa ekor kambing milik keluarganya, di sela sela ia mengembala kambing  Abu Hurairah selalu bermain dengan kucing kecilnya di saat siang hari dan jika malam sudah tiba, kucing tersebut di letakkan di atas pohon lalu  Abu Hurairah pulang kerumahnya. Kebiasaan ini berjalan terus sampai teman sebayanya memanggilnya dengan Abu Hurairah yang berarti si pemilik kucing kecil.

 

Tempat Asal Abu Hurairah

Abu Hurairah seorang sahabat yang lahir di daerah Ad Daus Yaman, daerah yang mulanya selalu menentang risalah kenabian Muhammad Shallahu Alaihi wa Sallam, sampai datanglah seorang sahabat bernama Thufail bin Amru Ad Dausi  Radhiallahu anhu yang pernah bertemu Nabi Muhammad Shallahu Alaihi wa Sallam dan mengikrarkan islamnya sebelum hijrahnya Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam ke Madinah.

Tufail bin ‘Amru Ad Dausi yang mendakwahkan Islam kepada kaumnya Ad Daus, namun tidak ada dari kota Ad Daus yang menerima Islam kecuali satu orang yaitu Abu Hurairah Radhiallahu anhu.

Pada awal tahun ke tujuh hijriah diumurnya yang ke dua puluh enam, tekad Abu Hurairah Radhiallahu anhu untuk hijrah dari negrinya menuju Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bulat, dengan perbekalan yang seadanya tak membuat Abu Hurairah Radhiallahu anhu mundur, bahkan ia pernah bersyair saat tiba di Madinah,

يا ليلة من طولها و عنائها

على أنها من دارة الكفر نجت

Wahai malam yang panjang serta melelahkan, namun saat itulah aku terselamatkan dari negri kafir.

Tetapi tibanya beliau di malam itu tidak dapat di sambut dengan Rasulullah dan para sahabat besar karena mereka semua sedang berada di medan perang Khaibar.

Sampailah waktu Subuh, kemudian para sahabat berkumpul untuk melaksanakan shalat subuh yang di pimpin oleh Siba bin Urfutoh Radhiallahu anhu  yang telah di tunjuk oleh Rasulullah menjadi imam kala Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam  berperang saat itu.

Setelah shalat subuh selesai tak lama terdengar suara suara yang menandakan tibanya tentara kaum Muslimin berserta panglimanya yaitu Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam , sebagaimana biasanya Rasulullah langsung menuju masjid shalat dua rakaat dan menemui beberapa sahabat, kemudian di lihatlah oleh Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam seseorang yang mempunyai kulit agak gelap, lebar pundaknya serta memiliki celah diantara dua gigi depannya dan langsung membaiat Rasulullah. Kemudian, Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam mengatakan,

ممن أنت ؟ قلت : من دوس، قال: ما كنت أرى في دوس احدا فيه خير

“Dari mana engkau?”, Abu Hurairah menjawab, “Aku berasal dari Ad Daus”, Rasulullah mengatakan, “Sungguh aku dulu tidak menyangka ada kebaikan di  Daus”[1. HR. Ibnu Saad,dan Abi dawud At-Thayalisi].

 

Kehidupan Awal Di Madinah

Abu Hurairah yang merupakan tamu baru di kota Madinah, juga dikenal pada saat itu seorang sahabat yang sangat miskin, keputusan ia berhijrah dari yaman ke tanah Madinah membuatnya kehilangan harta harta yang ia miliki di yaman. Namun, kaum muslimin saat itu telah menyediakan tempat untuk tamu Allah yang  tidak mempunyai harta dan keluarga. Mereka akan di tempatkan di masjid, seraya belajar Islam kepada Rasulullah Shallahu’Alaihi wa Sallam .

Ahlu suffah merupakan sebutan untuk mereka para penghuni masjid Nabawi saat itu, dan sahabat Abu Hurairah merupakan orang yang paling fakih di antara ahlu Suffah yang lain, karena jarangnya ia absen dalam mendengarkan Rasullah saat menyampaikan pelajaran.

Para Ahlu Suffah mendapatkan makanan jika Rasulullah mendapatkan makanan, dan mereka juga tak makan jika keluarga Rasulullah tak makan  maka laparnya Ahlu Suffah berarti laparnya Rasulullah serta keluarganya Shallahu Alaihi wa aalihi wa Sallam.

 

Kemiskinan Abu Hurairah

Abu Hurairah merupakan seorang sahabat yang sangat sabar dengan apa yang Allah  timpahkan, kemiskinannya membuat benar-benar ia tak asing lagi dengan rasa lapar yang selalu hadir hampir di setiap harinya, ia tak asing dengan batu yang selalu mengikat perutnya, bahkan ia pernah mengatakan, “Aku pernah merasakan lapar sampai aku ingin pingsan, kemudian agar aku mendapatkan makanan, aku berpura-pura seperti  orang yang kejang diantara mimbar Rasul dan rumah Aisyah sampai orang-orang datang kepadaku kemudian meruqyaku, aku langsung mengangkat kepalaku lalu aku katakan,

ليس الذي ترى، إنما هو الجوع

Ini bukan yang seperti kalian lihat (kejang karena kesurupan,pent-) namun aku begini karena lapar”[2. HR. Bukhari].

 

Kelaparan Bersama Abu Bakar, Umar dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

Dikisahkan bahwa Abu Hurairah di suatu hari telah mengikat dengan keras perutnya dengan batu agar tidak terasa lapar yang menusuk, demi mendapatkan makanan, beliau duduk di jalan yang biasa di lewati oleh para sahabat.

Tak lama berselang lewatlah Sahabat yang mulia Abu Bakar Radhiallahu Anhu di hadapan Abu Hurairah, maka langsung Abu Hurairah menghampiri Abu Bakar bertanya-tanya tentang masalah agama, namun di dalam pertanyaan tersebut Abu Hurairah berharap pertanyaan yang ia layangkan dapat membawanya diundang makan bersama Abu Bakar, namun tidak seperti yang di harapkan, lalu berpisahlah mereka berdua.

Kemudian lewatlah Al Faruq Umar bin Khattab Radhiallahu Anhu , maka Abu Hurairah Radhiallahu Anhu  melakukan apa yang ia lakukan bersama Abu Bakar dengan harapan yang sama, namun tidak juga seperti yang di harapkan. Kedua sahabat yang mulia itu tidak mengetahui maksud dari Abu Hurairah.

Berikutnya, lewatlah manusia yang paling mulia Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam , melihat Abu Hurairah yang sedang duduk-duduk di jalan, Rasulullah mengetahui bahwa sahabatnya itu sedang kelaparan, lalu Rasulullah memanggil Abu Hurairah untuk datang kerumahnya, ternyata di dapati di dalam rumah Rasulullah hadiah berupa satu bejana susu. Kemudian Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam  berkata, “Abu hurairah panggilah para ahli suffah”. Mendengar perintah tersebut abu hurairah pergi memanggil ahli suffah sambil berkata dalam hatinya, “kenapa tidak saya dikasih minum dulu, jika telah datang ahlu suffah maka akan habis susu itu, tapi biarlah kelaparan ku ini tak menghalangi ku untuk taat kepada Allah dan RasulNya”.

Datanglah Ahlu Suffah dengan perasaan senang menyambut panggilan, begitu mereka duduk, Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam  memerintahkan Abu Hurairah untuk menuangkan kepada setiap ahlu suffah susu tersebut sampai semua kenyang. Maka tak tersisa lagi yang kelaparan pada saat itu kecuali Abu Hurairah dan Rasulullah, kemudian Rasulullah senyum sambil melihat bejana susu lalu melihat kepada Abu Hurairah yang kelaparan,

“ wahai Abu hurairah tinggal tersisa aku dan kamu”,

Abu Hurairah menjawab, “benar wahai Rasulullah”,

Rasulullah berkata, “minumlah

Abu Hurairah berkata, dan akupun langsung meminumnya, dan tidaklah Rasulullah memerintahkan ku untuk terus meminum susu tersebut sampai aku tidak mendapatkan ruang kosong dalam lambungku, setelah aku kenyang barulah Rasulullah meminum susunya”[3. HR. Muslim].

Subhanallah, terllihat sekali kelembutan, kebaikan, kepedulian Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam  kepada para sahabatnya, dan lihatlah ketaatan Abu Hurairah Radhiallahu Anhu  akan perintah Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam .

 

Bakti Abu Hurairah Kepada Ibunya

Disuatu malam abu hurairah pernah keluar dan ini diluar kebiasaan, maka orang-orang  bertanya kepada Abu Hurairah kenapa ia keluar, beliau menjawab “tidak ada yang membuatku keluar kecuali rasa lapar”, Mereka juga berkata, “kamipun begitu tidak ada yang mengeluarkan kami dari rumah kecuali rasa lapar”.

Akhirnya, kami mendatangi Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam  mengadukan rasa lapar kami, lalu Rasulullah mengeluarkan mangkuk yang berisi beberapa kurma, setiap satu orang yang datang di berikan  dua buah kurma.

Rasulullah mengatakan, “makan dua buah kurma ini dan perbanyaaklah minum air, ini akan mencukupimu untuk hari ini”.

Maka akupun memakan satu buah kurma dan sisanya aku simpan. Rasulullah mengatakan, “untuk apa kau simpan kurma mu? Bukankah kau sangat lapar?”, “aku simpan ini untuk ibuku”.

Lalu Rasulullah berkata, “makanlah, nanti kuberikan tambahan untuk ibumu”[4. Thabaqat Ibnu Sa’ad, 4/328 – 329].

 

Kisah Masuk Islanya Ibunda Abu Hurairah

Abu Hurairah pernah bercerita, “ dahulu ibuku masih dalam keadaan musyrik, setiap saat aku selalu mendakwahkannya agar memeluk agama islam, sampai di suatu hari saya mendengar perkataan ibuku yang sangat buruk yang ia layangkan untuk Rasulullah, aku langsung mengadu kepada Rasulullah seraya menangis lalu aku meminta Rasulullah untuk mendoakan ibuku, maka Rasulullah berkata,

اللَّهُمَّ اهْدِ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ

“Ya Allah berikanlah hidayah kepada ibunda Abu Hurairah”.

Maka setelah Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam  mendoakan ibuku, aku kembali kerumah ingin mendakwahinya lagi dan mengabarkan bahwa ia telah di doakan Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam, namun setibanya aku di rumah, pintu rumah ku terbuka, aku medengar suara gemercik air, lalu saat aku ingin masuk, terdengar suara ibuku berkata, “janganlah kau masuk”.

Kemudian keluar ibuku yang telah memakai penutup kepala dan tubuhnya seraya mengatakan,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله، وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

Ya, ibuku mengucapkan kalimat syahadat, ibu ku menjadi seorang muslimah. Aku langsung lari kembali kepada Rasulullah seraya menangis kegirangan layaknya aku menangis tadi karena kesedihan, aku kabarkan kabar gembira ini kepada Rasulullah, lalu ia berdoa,

اللَّهُمَّ حَبِّبْ عُبَيْدَكَ هَذَا وَأُمَّهُ إِلَى عِبَادِكَ المُؤْمِنِيْنَ، وَحَبِّبْهُمْ إِلَيْهِمَا

“Ya Allah jadikanlah hambamu ini (abu hurairah) dan ibunya orang yang di cintai oleh kaum mukminin, dan ia berdua juga cinta kepada kaum mukminin”[5. HR. Muslim].

 

Semangatnya Abu Hurairah Akan Ilmu

Sahabat yang mulia ini terkenal sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadist, tercatat sekitar lebih dari 5000 hadist yang di riwayatkan lewat jalurnya.

Memang semangatnya Abu Hurairah dalam ilmu hadist telah diketahui oleh Rasulullah seperti di dalam hadist,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

Abu hurairah pernah bertanya kepada Rasulullah, “ siapa yang paling senang dapat syafaatmu nanti wahai Rasulullah? Rasulullah mengatakan, “sudah kuduga bahwa engkau yang akan menanyakan hal ini wahai abu hurairah saat aku melihat semangat atas hadist”. (HR. Bukhari).

Di riwayatkan bahwa beliau pernah berkata, “aku membagi malamku tiga bagian pertama untuk membaca Al Quran, sebagian lain untuk tidur, sebagian lagi untuk mengulang hafalan hadsitku”[6. Tarikh Dimasyq, 67 /362].

 

Akhir Hayat Abu Hurairah

Sahabat yang mulia ini diberikan umur yang panjang oleh Allah ta’ala di riwayatkan bahwa beliau wafat di umur 78 tahun, maka  jarak dari wafatnya Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam  dengan wafatnya Abu Hurairah sekitar 47 tahun,oleh  karena itu beliau sangat sering mengajarkan ummat dan banyak meriwayatkan hadist.

Di riwayatkan dari Nafi’ Rahimahullah bahwa saat Abu Hurairah wafat aku dan Ibnu Umar radhiallahu anhu ikut mengiringi jenazah, dan ibnu Umar Radhiallahu anhuma tak lepas mendoakan Abu Hurairah lalu ia berkata, “ orang ini adalah orang yang paling hafal hadist Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam “[7. Thabaqat Ibnu Saad, 4/253].

 

Penutup

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk setiap pembaca, serta dapat menambah wawasan kita akan para Sahabat, juga menepis segala syubhat yang ada, dan menjadikan kita mencintai Abu Hurairah dan ibunya, karena tak ada yang mencintainya kecuali orang mukmin sebagaimana hadist di atas.

Wa Shallalhu alihi wa sallam, wa billahi taufiq.

 

***************

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu

Pribadi Yang Mengagumkan

 

ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU PRIBADI YANG MENGAGUMKAN [1]

 

Musuh-musuh Islam selalu mengintai dan mencari kelengahan kaum muslimin, kemudian melemparkan syubhat-syubhat untuk membuat keraguan atas kebenaran Islam. Mereka berusaha mengaburkan sejarah emas generasi sahabat, dengan mencoba mencela dan melecehkannya, khususnya para perawi hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya, yaitu perawi yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah Abu Hurairah. Oleh karenanya, kita perlu mengetahui sejarah kehidupannya, agar kaum muslimin memiliki hujjah, tidak terbawa arus propaganda dan provokasi musuh-musuh Islam

 

NAMA DAN NASABNYA

Namanya pada masa jahiliyah -menurut pendapat yang rajih- adalah Abdu Syams, sebagaimana ditetapkan Imam Bukhari, AtTirmidzi dan Al Hakim. Adapun setelah masuk Islam, namanya telah dirubah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini, dikarenakan tidak boleh memberi nama seseorang dengan nama “hamba fulan” (Abdul Fulan) atau hamba sesuatu. Yang boleh, hanya hamba Allah (Abdullah) semata, sehingga beliau diberi nama Abdullah atau Abdurrahman, namun Abdurrahman-lah yang lebih rajih.

 

Nama tersebut merupakan salah satu nama dari sekian nama-nama yang dimiliki Abu Hurairah. Menurut Al Hakim, nama itulah yang paling shah. Akan tetapi, Abu Ubaid berkata, bahwa nama beliau adalah Abdullah; dan Ibnu Khuzaimah terbiasa menggunakan nama tersebut.

 

Imam Bukhari dalam kitab Al Adab Al Mufrad mengutip dari Musa bin Ya’qub Al Juma’i yang telah bertemu dengan sahabat-sahabat setia Abu Hurairah. Bahwa sebelumnya, Abu Hurairah bernama Abdullah. Hal ini membuat Ibnu Hajar mengakui adanya kemungkinan benarnya dua nama tersebut.

 

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu adalah orang Dausi –dengan difathahkan huruf “dal” dan disukunkan huruf “waw”- berasal dari Bani Daus bin ‘Adtsan. Kabilah Daus ini berasal dari Al Azd. Sedangkan Al Azd sendiri merupakan qabilah Yamaniah Qathaniyah yang terkenal silsilah nasab keturunannya terjaga sampai kakek tertinggi Al Azd bin Al Ghauts, sebagaimana telah dijelaskan oleh seorang pakar sejarah terpercaya Khalifah bin Khayyath.

 

Jika demikian halnya, berarti dia adalah Abu Hurairah Al Dausi Al Yamani. Imam Ad Daulabi meriwayatkan dari seorang tabi’in terkenal, Yazid bin Abu Hubaib, bahwa Abu Hurairah Ad Dausi Al Yamani merupakan sekutu Abu Bakar Ash Shiddiq.

 

Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah kepalsuan dan kebodohan orang yang menuduh, bahwa nasab Abu Hurairah tidak dikenal (majhul). Bahkan (perlu) kami tambahkan disini dengan menyatakan, bahwa Ibnu Ishaq – pengarang kitab sirah yang terkenal ituberkomentar tentang Abu Hurairah seraya berkata, ”Abu Hurairah adalah seorang mulia. Berkedudukan tinggi dan dipercaya di kalangan Bani Daus. Bani Daus senang memilikinya.”

 

Pamannya bernama Sa’ad bin Abu Dzubab yang diangkat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai gubernur wilayah Daus. Pengangkatan tersebut berlangsung hingga pemerintahan Umar. Nampaknya, kalaulah Sa’ad pada masa jahiliyah bukan seorang gubernur, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengangkatnya sebagai gubernur. Orang-orang yang meneliti sikap politik Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengangkat gubernur atau pemimpin bagi setiap suku atau kabilah, akan mengetahui, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu antusias mengangkat orang yang pada masa jahiliyahnya menjadi pemimpin bagi kaumnya, jika masuk Islam dan faqih (ahli agama), sebagaimana pengangkatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sahabat yang mulia Jarir bin Abdullah Al Bajali untuk menjadi wakil bagi kaumnya. (Demikian juga) Adi bin Hatim Ath Tha’i juga diangkat sebagai pemimpin bagi kaumnya.

 

Abu Ubaid Al Qasim bin Salam menyatakan : Shafwan bin Isa telah menceritakan kepada kami dari Al Harits bin Abdurrahman bin Abu Dzubab dari Munir bin Abdullah dari ayahnya dari Sa’ad bin Abu Dzubab, ia berkata,”Aku mendatangi Rasulullah n . Lalu aku menyatakan diri masuk Islam. Lalu aku bertanya,’Wahai, Rasulullah. Jadikan untuk kaumku pemimpin yang akan mengambil zakat mereka yang telah masuk Islam,’ lalu Nabi menunaikan hal itu dan mengangkatku sebagai ‘amil untuk mengambil zakat mereka. Abu Bakar pun mengangkatku juga. Demikian pula Umar mengangkatku untuk melakukan tugas tersebut.”

 

Dalam kisah tersebut, kalau kita perhatikan, memang tidak terdapat isyarat bahwa Sa’ad sebagai paman dari Abu Hurairah. Namun isyarat tersebut terdapat pada sejarah biografi anaknya, Al Harist bin Sa’ad bin Abu Dzubab. Yaitu ketika Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf menjelaskan, bahwa dia adalah anak dari paman Abu Hurairah. Telah sampai kepada kita keterangan yang jelas dari Abu Salamah dengan sanad yang shahih diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim. Demikian juga Ibnu Hibban menyebutkan hal itu dalam biografinya, bahwa ia merupakan anak dari paman Abu Hurairah.

 

Demikianlah kemuliaan dan keutamaan yang dimiliki Abu Hurairah dari jalur pamannya seorang gubernur. Adapun dari jalur paman dari ibu; sesungguhnya ibunya (Umaimah binti Shufaih bin Al Harist dari Bani Daus) memiliki saudara bernama Sa’ad bin Shufaih, seorang pahlawan pemberani Bani Daus. Pamannya inipun telah masuk Islam. Dengan demikian, menyatulah kemuliaan Abu Hurairah dari dua arah. Dan nyatalah kebatilan pendapat orang yang menyatakan jika Abu Hurairah seorang faqir terlantar.

 

SEBAB KUNIYAHNYA YANG ANEH

Abu Hurairah terkenal dengan kunniyah (julukan)nya. Tentang julukannya ini, Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Mereka memberikan gelar dan julukan kepadaku Abu Hurairah. Penyebabnya, tidak lain karena aku pernah menggembalakan kambing untuk keluargaku. Dan saat itu kudapati anak kucing liar, lalu aku masukkan ke kantong lenganku. Ketika aku pulang kembali ke rumah, mereka mendengar suara kucing di kamarku, kemudian bertanya, ‘Suara apakah itu, wahai Abdu Syams?’ Akupun menjawab,‘Anak kucing yang kutemukan (saat menggembala kambing)’. Mereka berkata,‘Kalau begitu, engkau adalah Abu Hurairah’. Semenjak itu, julukan dan gelar itu terus melekat padaku.”

 

Akan tetapi Abu Hurairah berkata, ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku Abu Hirin dan orang-orang memanggilku Abu Hurairah,” karenanya ia berkata, ”Kalian memanggil dan menjulukiku dengan julukan laki-laki (Abu Hirin), lebih aku sukai daripada julukan wanita (Abu Hurairah).” Disebutkan di beberapa tempat dalam Shahih Bukhari, bahwa dalam berbagai kesempatan dan peristiwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Abu Hurairah dengan panggilan Abu Hirrin.

 

SIFAT (CIRI KHUSUS) YANG DIMILIKINYA

Abdurrahman bin Abu Labibah memberikan sifat khusus bagi Abu Hurairah. Dia berkulit sawo matang, bahu dan pundaknya cukup lebar, rambutnya dikepang dan dibelah dua, dan gigi serinya renggang. Dhamdhan bin Jaus mensifatkannya sebagai seorang tua yang mengepang rambut kepalanya dan gigi serinya renggang.

 

Muhammad bin Sirin memberikan ciri khusus, bahwa Abu Hurairah adalah seorang yang berkulit putih, halus, lembut dan tidak kasar. Dia mengecat jenggotnya dengan hanna’ (pohon pacar) dan berpakaian dengan kain katun.

 

KEISLAMAN DAN HIJRAHNYA

Di tengah-tengah kesesatan jahiliyah dan kegelapan syirik, sampailah seruan dakwah tauhid dari Mekkah kepada seorang yang mulia, penyair ulung dan dermawan, yaitu Ath Thufail bin Amr Ad Dausi. Kemudian Ath Thufail masuk Islam dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah, lalu kembali kepada kaumnya di wilayah Daus. Ia menyeru kepada kaumnya, sehingga ada yang masuk Islam. Diantara mereka ialah Abu Hurairah.

 

Ibnu Hajar menyebutkan riwayat Hisyam bin Al Kalbi tentang kisah Ath Thufail. Bahwa ia mendakwahi kaumnya untuk masuk Islam, lalu ayahnya masuk Islam, sedangkan ibunya tidak. Dan Abu Hurairah saja yang memenuhi panggilannya. Demikianlah permulaan kisah keislaman Abu Hurairah.

 

Kemudian Ath Thufail bin Amr Ad Dausi mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya, ”Apakah baginda Nabi berada dalam lindungan yang cukup kuat dan jaminan keamanan?” Dia berkata lagi,”Ada perlindungan dan suaka politik pada Bani Daus yang ada sejak zaman jahiliyah (jika engkau ingin),” namun Nabi enggan untuk mendapatkan jaminan keamanan tersebut, karena (memilih) jaminan Allah kepada kaum Anshar. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, Ath Thufail pun hijrah ke Madinah pula.

 

Ath Thufail berkata,”Aku mendatangi Rasulullah bersama orang-orang yang telah masuk Islam dari kaumku, sedangkan (waktu itu) Rasulullah berada di Khaibar, hingga tinggal di Madinah tujuh puluh atau delapan puluh keluarga dari Bani Daus.”

 

Mulai saat itulah Abu Hurairah bertugas dan bertanggung jawab untuk memaparkan berita-berita tentang dirinya dan berita para delegasi tersebut. Abu Hurairah berkata, ”Ketika Rasulullah berangkat menuju Khaibar, Beliau mengangkat Siba’ bin Al Fathah Al Ghifari sebagai pejabat sementara Madinah, kami lalu tiba disana. Ketika tiba di Madinah, jumlah kami sebanyak 80 keluarga Bani Daus.” Berkata seseorang, ”Rasulullah berada di Khaibar dan akan datang menemui kalian,” akupun menimpalinya, ”Tidaklah aku mendengar Rasulullah beristirahat di suatu tempat, kecuali aku mendatanginya. Lalu kami menemui Siba’ bin Al Fathah dan kami bersiap-siap. Kemudian aku menemui Rasulullah pada suatu hari sebelum penaklukan (kota Makkah) atau sehari setelahnya.

Rasulullah telah menaklukan An Nuthah dalam keadaan mengepung Ahli Kutaibah (penduduk benteng Kutaibah). Kamipun bertahan disana hingga Allah Ta’ala membukanya untuk kami.”

 

MASA PERSAHABATANNYA DENGAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu datang ke Khaibar pada bulan Shafar tahun ke 7 H, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 11 Hijriah. Sehingga lamanya bersahabat dengan Nabi sekitar 4 tahun lebih. Masa-masa itulah yang ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dengan pernyataannya, ”Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi selama empat tahun.”

 

Namun Abu Hurairah sendiri menjelaskan dalam Shahih Bukhari, bahwa ia menemani Rasulullah selama 3 tahun. Seolah-olah Abu Hurairah menghitung masa menjadi pengikut setia ‘mulazamah’ hanya selama 3 tahun, yaitu setelah kedatangan mereka dari Khaibar, atau ia tidak menghitung waktu-waktu safar (perjalanan) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; baik untuk berperang, berhaji maupun umrah. Sebab, mulazamahnya ketika berada di Madinah sangatlah berbeda dengan mulazamah sewaktu bepergian. Atau masa-masa tersebut diartikan sebagai waktu ketika dia berada di Shuffah (menjadi Ahli Shuffah) yang sangat bersemangat dan antusias. Sedangkan pada waktu lainnya, sikap antusiasme tersebut tidak sebagaimana disebutkan. Wallahu a’lam. Atau kurangnya hitungan masa tersebut dengan tidak memasukkan perhitungan saat bepergian ke Bahrain tahun ke delapan Hijriah ditemani Al Alla’ Al Hadrami, gubernur Nabi untuk wilayah Bahrain.

 

KEUTAMAAN YANG DIRAIH ABU HURAIRAH

Sungguh, masuknya Abu Hurairah ke kalangan para sahabat, memberinya keutamaan bertambah. Dia mendapatkan pahala sebagai sahabat Nabi, mendapatkan sifat ‘adalah (adil) yang menempel pada semua sahabat yang telah ditetapkan dalam ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang mulia. Barangsiapa yang menolaknya, berarti telah menolak Al Qur’an dan hadits shahih serta ijma’ generasi /pertama dari kaum muslimin.

 

Dia mendapatkan keutamaan atas do’a Rasulullah kepada kabilahnya, Daus, agar mendapat petunjuk. Juga mendapatkan keutamaan Yaman, karena ia sebagai orang Yaman. Demikian juga mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan RasulNya, karena hijrahnya sebelum penaklukan kota Mekkah dan mendapatkan keutamaan do’a Rasulullah kepadanya. Sekaligus mendapatkan keutamaan sebagai orang miskin dan Ahli Shuffah, pahala berjihad di bawah panji Rasulullah serta pahala menghafal hadits Rasulullah dan menyampaikannya.

 

CINTA ABU HURAIRAH KEPADA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Abu Hurairah sangat mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketulusan cintanya diungkapkan dengan pernyataannya: “Wahai, baginda Rasulullah. Ketika aku melihat engkau, bahagia kurasakan dalam diriku dan sejuk pandanganku”. Kecintaan itu menanamkan perasaan mendalam terhadap nama Rasulullah, sampai-sampai ia tidak mampu menguasai dirinya, terisak menangis berkali-kali sampai pingsan.

 

Imam At Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad hasan (baik) sampai kepada Syafi’i Al Ashbahi tentang gambaran nyata cinta Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ketika kecintaannya itu sedang menguasai dirinya.

 

Ketika Syafi’i memasuki Madinah, tiba-tiba ada seseorang tengah dikelilingi banyak orang. Ia bertanya, ”Siapakah orang itu?” Mereka menjawab, ”Abu Hurairah.” Lalu aku mendekatinya hingga duduk di hadapannya, sedangkan ia sedang menyampaikan hadits kepada mereka. Ketika ia diam dan sendirian, aku bertanya kepadanya, Aku tegaskan dengan sebenar-benarnya, ketika anda menyampaikan kepadaku satu hadits yang anda dengar dari Rasulullah, anda faham dan ketahui.” Lalu Abu Hurairah menjawab,”Ya. Akan aku sampaikan kepadamu satu hadits yang telah disampaikan Rasulullah kepadaku, aku faham dan ketahui,” lalu Abu Hurairah tertegun sampai tercengang.

 

KESABARAN ABU HURAIRAH MENAHAN LAPAR UNTUK BELAJAR

Abu Hurairah hidup pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Shuffah dalam keadaan faqir, tidak memiliki harta, rumah dan mata pencaharian. Dia merasa cukup dengan kemudahan yang diberikan Allah kepadanya dan kepada para ahlus shuffah, yaitu berupa hadiah untuk mereka dan makanan yang dinikmati bersama dengan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menyiapkan diri menemani dan mulazamah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semata, hanya karena ingin mendengarkan dan menghafal seluruh sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan untuk menyebarkannya. Juga untuk melihat perbuatan, keadaan, pergaulan dan keputusan hukum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya ialah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari Muhammad bin Sirin, ia berkata : Kami pernah berada di sisi Abu Hurairah. Dia memakai dua helai pakaian yang dicelup dengan tanah merah (berwarna merah) dari bahan katun, lalu ia menariknya seraya mengucapkan, “Bakh, bakh!” Abu Hurairah menarik pakaiannya seraya berkata,”Sungguh aku pernah terjatuh di antara mimbar Nabi dan kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha dalam keadaan pingsan, lalu datanglah seseorang dengan meletakkan kakinya di leherku. Dia menganggapku sudah gila, padahal aku tidak gila. Tidak menimpaku, kecuali kelaparan.

 

ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU BERJIHAD

Abu Hurairah pun tidak tertinggal melaksanakan tugas suci membela agama dengan berperang di jalan Allah, sebagaimana nampak jelas keikut sertaannya dalam beberapa peperangan Nabi, diantaranya:

 

1. Keikutsertaannya dalam perang Khaibar dan perang di Wadi Al Qura’.

2. Keikutsertaanya dalam Umratul Qadha (umrahpengganti).

3. Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Dzatur Riqa’, sebagaimana disampaikan Imam Al Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ”Aku shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peperangan yang kami mendapati shalat khauf (shalat karena takut).” Juga dikuatkan oleh kisah yang diriwayatakan Abu Dawud dari Urwah bin Zubair yang menceritakan dari Marwan bin Al Hakam, bahwa ia bertanya kepada Abu Hurairah : “Pernahkah anda shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat khauf?” Abu Hurairah menjawab,”Pernah.” Marwan bertanya,”Kapan?” Abu Hurairah menjawab,”Tahun terjadinya perang Dzaturiqa.”

 

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu juga hadir dalam mengusir sebagian bangsa Yahudi Madinah. Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tentang pengusiran tersebut. Ia berkata: Ketika kami di dalam masjid, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, seraya bersabda, ”Berangkatlah menuju pemukiman Yahudi.” Kamipun keluar hingga sampai di Baitul Midras.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Masuklah ke dalam agama Islam, niscaya anda selamat. Ketahuilah, bahwa bumi ini milik Allah dan RasulNya. Dan aku akan mengusir kalian dari tempat ini. Barangsiapa diantara kalian memiliki sedikit harta, maka juallah. Jika tidak, ketahuilah bahwa daerah ini milik Allah dan RasulNya.” Kisah ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim.

 

4. Keikutsertaan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dalam Al Fath Al Akbar (penaklukan Makkah), Hunain dan Thaif. Dipaparkan Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Maukah aku ajarkan pada kalian satu hadits tentang kalian, wahai seluruh kaum Anshar? (Lalu ia menyebut penaklukan kota Mekkah), seraya berkata,”Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke Mekkah. Setelah sampai disana, lalu Beliau mengangkat Az Zubair (sebagai pemimpin pasukan) di salah satu sayap pasukan. Dan di sayap lainnya mengangkat Khalid. Beliau juga mengutus Abu Ubaidah (memimpin) pasukan infantri yang tidak berpakaian baju besi.

 

Mereka pun mengambil tempat dan posisi di tengah-tengah lembah. Sementara itu, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam kelompok kecil (peleton) tersendiri. Beliau memandang sekeliling dan melihatku, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,”Abu Hurairahkah anda?” Aku pun menjawab, ”Kupenuhi panggilan engkau, wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tidak boleh menemuiku, kecuali dari kalangan Anshar -selain Syaiban, menambahkan-(tambahan dari salah seorang perawi hadits ini). “Panggilkan kaum Anshar.” Dia Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Mereka pun mengelilingi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan orang Quraisy dengan seluruh kabilah dan pengikutnya berkumpul sambil berkata,”Kita dahulukan mereka. Jika mereka mendapatkan sesuatu (kemenangan), kita pun akan (merasakan) bersama mereka. Dan jika mereka mendapatkan musibah, kita akan berikan yang diminta dari kita.” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,”Tidakkah kalian menyaksikan kumpulan kabilah Quraisy dan pengikut pengikut mereka?” Lalu Beliau meletakkan salah satu telapak tangannya di atas yang lainnya dan berkata, ”Temuilah aku di Shafa.” Abu Hurairah berkata, ”Kami pun bergegas berangkat. Maka tidak ada seorang pun dari kami yang ingin membunuh seseorang, kecuali membunuhnya. Dan tidak seorang pun dari mereka menghadang kami, sedikitpun.”

 

5. Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Tabuk, sebagaimana diriwayatkan Imam Ath Thahawi dengan sanad yang shahih sampai kepada beliau Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Kami keluar bersama Rasul n pada perang Tabuk.”

 

6. Keikutsertaan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dalam perang Mu’tah.

 

7. Keikutsertaannya menumpas gerakan pemurtadan (harakatu ar riddah), sebagaimana telah diriwayatkan Imam Al Bukhari dalam kisah penumpasan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu terhadap gerakan pemurtadan ini. Abu Hurairah berkata: Ketika Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat dan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai pengganti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kufurlah orang-orang yang kufur dari bangsa Arab. Umar bertanya kepada Abu Bakar,”Wahai, Abu Bakar. Bagaimana anda akan memerangi mereka? Padahal Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi ‘Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah’. Karenanya, barangsiapa telah mengucapkannya, ia telah terjaga dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan cara yang haq. Dan hisab berikutnya berada pada Allah’.” Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menjawab, ”Demi Allah. Aku akan memerangi orang-orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, sebab zakat adalah haknya harta. Demi Allah. Jika mereka menghalangiku meskipun cuma sedikit –dalam riwayat lain (ikat kepala)- padahal sebelumnya (pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) mereka menunaikannya, niscaya aku perangi mereka karena keengganannya (itu).” Umar pun menimpalinya,” Demi Allah. Tidaklah aku melihat, melainkan Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka. Aku pun mengetahui dia (berada) pada kebenaran. Imam Muslim, Abu Dawud dan An Nasa’i juga memaparkan kisah ini. Tetapi lafadznya tidak menunjukkan keikutsertaan Abu Hurairah dalam peperangan itu, kecuali dalam riwayat An Nasa’i dengan sanad yang tidak kuat. Namun dalam riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang telah dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir, terdapat pernyataan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu setelah pemaparannya mengenai kisah tersebut: “Kami berperang bersama Abu Bakar, lalu kami memandangnya sebagai keputusan yang sangat tepat”.

 

8. Keikut sertaannya dalam perang Yarmuk, peperangan di Armenia dan daerah Jurjan, sebagaimana dipaparkan Ibnu Asakir tentang kisah perang Yarmuk. Demikian juga Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Al Ishabah menukil dari Ibnu Asakir juga.

 

Sedangkan Ibnu Khaldun memberikan catatan, bahwa pada masa kekhalifahan Utsman, Abu Hurairah tinggal bersama Gubernur Armenia Abdurrahman bin Rabi’ah. Ketika Abdurrahman terbunuh dalam peperangan melawan Turki, sebagian tentaranya menuju Jailan dan Jurjan. Di dalam barisan tentara tersebut terdapat Salman Al Farisi dan Abu Hurairah.

 

Abu Hurairah tidak hanya mencukupkan dengan jihad yang terus-menerus, mencurahkan kemampuan dan pengorbanannya ini saja, (tetapi) ia juga berharap menambah dengan yang lainnya.

 

Imam An Nasa’i meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan kami untuk memerangi India. Jika aku mendapatinya, maka akan aku korbankan jiwa dan hartaku. Karena jika aku terbunuh, maka aku adalah syuhada’ yang paling utama. Dan jika aku kembali, maka aku adalah Abu Hurairah, orang yang dibebaskan dari api neraka (al muharrarah).

 

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz: Jika aku mendapatkan syahid, maka aku menjadi sebaik-baiknya syuhada. Dan jika aku kembali (masih hidup), maka aku adalah Abu Hurairah Al Muharrarah (terbebas dari api neraka).

 

Itulah gambaran singkat pribadi yang agung seorang sahabat besar yang namanya sengaja dicaci maki secara membabi buta oleh musuh-musuh Islam, kaum zindiq yang berkedok cinta ahli bait

 

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu Teraniaya (1)

******************

 

ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU TERANIAYA (1)

 

Oleh

Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi

 

Mencela dan melecehkan para sahabat dengan penghinaan dan tuduhan ngawur merupakan cara-cara pengikut iblis dan musuh-musuh Islam. Mereka, sebenarnya bertujuan mencela dan merendahkan para saksi kebenaran Islam, dan hendak mencela Rasulullah. Yaitu dengan menyatakan, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sahabat-sahabat yang jelek dan tidak memilih sahabat yang baik saja. Dengan cara ini, mereka ingin menghancurkan dan memadamkan cahaya Islam. Akan tetapi, mereka tidak akan mampu. Allah tidak ingin cahaya agamaNya padam, bahkan Allah menyempurnakan cahaya agamaNya, meskipun kaum kafir pengikut iblis tidak suka dan marah.

 

Mereka hendak memadamkan sunnah Rasulullah dengan slogan-slogan yang seakan rahmat dan ilmiyah, namun hakikatnya menyimpan dendam, penipuan besar dan pandir. Misalnya dengan mengusung istilah “studi kritis hadits”, “studi ilmiah dan kebebasan berpendapat”. Ini semua hanyalah tipuan belaka dan fatamorgana. Tujuannya satu, yaitu menghancurkan Islam dengan segala cara. Oleh sebab itu, wahai kaum muslimin. Berhati-hatilah terhadap racun yang ditebarkan dimana-mana untuk merusak aqidah dan syariat kita.

 

Diantara sahabat yang menjadi sasaran mereka adalah perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Dalam makalah singkat ini, kami berusaha mengungkap beberapa tuduhan yang dilontarkan musuh Islam.

 

kepada Abu Hurairah, yang merupakan tokoh besar dalam periwayatan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami berusaha membantah dan membedahnya dengan tetap memohon kemudahan dan petunjuk Allah.

 

Berikut beberapa tuduhan dan kecaman para musuh Islam yang dilontarkan secara zhalim atas diri Abu Hurairah.[1]

 

1. Mereka [2] menyatakan.

Berbeda dengan para sahabat lain, para ahli sejarah tidak dapat memastikan nama sebenarnya dari Abu Hurairah, namanya dizaman jahiliyah maupun dizaman Islam. Begitu pula asal usulnya [3].

 

Juga menyatakan :

Abu Hurairah bukan sahabat besar, bukan dari kaum muhajirin bukan Anshar, bukan penyair Rasul, bukan keluarga Rasul, malah asal-usulnya, orang tuanya, bahkan nama aslinyapun tidak diketahui orang.[4]

 

Tanggapan.

Memang Abu Hurairah lebih dikenal dengan kunyah (julukannya) daripada namanya. Namun pernyataan diatas tidak benar seluruhnya, dan tidak dapat dijadikan alasan untuk melecehkan Abu Hurairah. Meskipun sejarah Abu Hurairah pada masa jahiliyah tidak dikenal, akan tetapi hal itu merupakan satu kewajaran; karena bangsa Arab –seluruhnyatenggelam dalam kejahiliyahan dan terkungkung di wilayah jazirahnya saja. Mereka tidak peduli dengan keadaan dunia. Begitu juga dunia tidak peduli dengan keadaan dan kondisi mereka, kecuali yang berhubungan dengan perniagaan, karena melintasi wilayah mereka.

 

Baru, ketika Islam datang, Allah memuliakan dan menjadikan mereka sebagai pengemban risalahNya. Jadilah setiap individu dari mereka memiliki sejarah yang ditulis menjadi bahan pembicaraan. Dan para perawi, selalu memperhatikan berita mereka. Dan mereka pun memiliki murid yang selalu mengambil ilmu dan petunjuk dari mereka

 

Para ahli sejarah mengetahui, bahwa terkenalnya seseorang dengan gelar atau julukannya merupakan perkara biasa dan wajar. Bahkan, terkadang seseorang berselisih dalam hal nama dan kunniyah (julukan)nya, sebagaimana khalifah pertama lebih dikenal dengan gelarnya, yaitu Abu Bakar. Begitu juga dengan Abu Ubaidah, Abu Dujanah dan Abu Darda’. Mereka adalah tokoh-tokoh besar dan pahlawan dari kalangan sahabat. Namun lebih lebih dikenal dengan gelar-gelar mereka, hingga sebagian besar manusia tidak mengetahui nama mereka yang sebenarnya. Kita belum pernah mendengar, pada kurun waktu tertentu, bahwa kedudukan dan keturunan dapat menentukan penghargaan intelektualitas.[5] Karenanya, celaan dan pelecehan terhadap Abu Hurairah yang lebih dikenal dengan julukannya tersebut melebihi namanya adalah tidak benar. Apalagi para ulama Islam telah merajihkan namanya pada zaman Jahiliyah adalah Abdu Syamsi, dan setelah Islam berganti menjadi Abdurrahman. Kemudian tuduhan, bahwa dia tidak jelas asal usulnya, juga merupakaan satu kebodohan dari para penuduh ini, karena asal-usul dan nasab Abu Hurairah cukup terhormat.[6]

 

Apakah ihwal Abu Hurairah dalam hal ini berbeda dengan ihwal sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Lalu, mengapa ketidak jelasan sejarah kehidupan Abu Hurairah pada masa jahiliyah merusak kedudukan dan menghancurkan posisinya dalam Islam? Apakah Kitabullah ada menyebutkan, bahwa orang yang tidak dikenal sejarahnya sebelum Islam harus direndahkan dan dilecehkan posisi dan kedudukannya, serta diragukan semua riwayatnya berkaitan dengan haditshadits Rasul? Maha Suci Allah, sesungguhnya ini merupakan tuduhan dan tipu daya yang besar. [7]

 

2. Mereka menyatakan.

Abu Hurairah ada di Madinah hanya 1 tahun 9 bulan di Shuffah. Abu Hurairah datang kepada Rasulullah pada bulan Safar tahun 7 Hijriyah, setelah perang Khaibar dan tinggal di emperan Masjid Madinah (Shuffah) sampai bulan Zulkaidah tahun 8 Hijriyah, karena pada bulan itu ia disuruh Rasul ke Bahrain menemani Al Ala’ Al Hadhrami sebagai muadzdzin. [8]

 

Tanggapan

Pernyataan ini tidak benar. Sebab Abu Hurairah bersahabat dengan Nabi sekitar 4 tahun lebih. [9] Sebagaimana ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dengan pernyataannya:

 

لَقِيتُ رَجُلًا صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ سِنِينَ كَمَا صَحِبَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ

 

Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi selama empat tahun.[10]

 

Sedangkan kepergian Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menemani Al Ala’ Al Hadhrami, tidak menunjukkan bila beliau menetap disana sampai Rasulullah meninggal, apalagi adanya riwayat yang menyatakan beliau bermulazamah dengan Nabi selama empat tahun. Demikian juga pendapat yang didukung riwayat otentik, menunjukkan beliau ikut serta perang Khaibar meskipun tidak seluruhnya [11] dan mengikuti haji bersama Abu Bakar Ash Shidiq tahun 9H.

 

3. Mereka menyatakan.

Ia sendiri menceritakan bahwa ia mendatangi Rasul bukan karena ia mendapat hidayah atau karena kecintaannya kepada Nabi SAW seperti yang lain, tetapi untuk mendapatkan makanan.

 

Dalam riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah berkata: “Aku adalah seorang miskin, aku bersahabat dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku.” Dan dalam riwayat lain: “Untuk memenuhi perutku yang lapar.” Dalam riwayat Muslim: “Aku melayani Rasul Allah untuk mengisi perutku.” atau “Aku menetap dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku” [12]

 

Kemudian mereka menyatakan lagi :

Ia juga punya hobi makan. Karena kesukaannya yang berlebihan akan makanan, maka sering juga disebut sebagai pembawa ‘hadis lesung’ (lesung-al-mihras- alat untuk menumbuk dan mengulek makanan. Lihat, “Hadits Lalat” dan “Hadits Pundi-pundi”) [13]

 

Tanggapan.

Riwayat-riwayat yang dipakai mereka sebagai dasar tuduhan terhadap Abu Hurairah, bahwa beliau melakukan aktivitas mendengar hadits Rasulullah hanya untuk mencari sesuap nasi yang mengenyangkan perutnya; dengan kata lain, melakukannya hanya karena dunia yang rendah, memang diriwayatkan secara shahih dengan lafadz:

 

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ

 

Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan “Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshor tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?” Sungguh, saudarasaudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jualbeli di pasar. Sedangkan saudara-saudaraku dari Anshor disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah n selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa. [14]

 

Pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu dalam lafadz pertama “Allah-lah tempat (membuktikan) janji” maksudnya adalah, bahwa Allah akan menghisabku jika aku sengaja berdusta, (dan) sekaligus akan menghisab orang-orang yang menuduhku dengan tuduhan yang keji.[15]. Adapun pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu : “selama perutku berisi”, yakni merasa telah puas dengan sesuap makanan, sehingga selalu hadir di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [16]

 

Dengan demikian, tuduhan terhadap beliau Radhiyallahu ‘anhu sangat dipaksakan dan tidak ilmiyah. Hal itu karena Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tidak sekedar menceritakan persahabatannya semata, sebagaimana persahabatan yang dimiliki sahabat lainnya. Namun, dalam pernyatannya tersebut, beliau Radhiyallahu ‘anhu juga ingin menceritakan keistimewaan (yang dimilikinya). Keistimewaan tersebut adalah kebersamaannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dimiliki sahabat lainnya.

 

Keistimewaan tersebut dijelaskan dengan caranya (yang) tawadhu’, dengan menyatakan: “Selama perutku berisi”, lalu menyebutkan keistimewaan para sahabat lainnya, sebagai orang-orang yang mampu dan kuat mencari penghidupan. Hal ini, demi Allah, merupakan kesantunan yang luar biasa.[17]

 

Tuduhan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu banyak makan dan ambisi mendapatkan makanan, serta bersahabat dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya karena makanan, bukan karena hidayah Islam atau kecintaan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh ini merupakan tuduhan keji yang hanya dilontarkan oleh orang yang hasad atau orang yang memiliki kerusakan syaraf. Jika tidak, bagaimana mungkin seorang yang berakal dapat membenarkan pemahaman, bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu sanggup meninggalkan negerinya, kabilah dan tanah airnya demi menjumpai Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya (sekadar) untuk makan dan minum semata?

 

Apakah Abu Hurairah Radhiyallahu a’nhu di kabilahnya tidak mendapatkan makan dan minum? Lalu untuk apa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu datang ke Madinah? Apakah di negerinya ia tidak bisa mendapat makanan dan minuman sebagaimana yang diperoleh para petani dan pedagang disana? Tuduhan ini betul-betul pelecehan terhadap sahabat yang mulia ini. Dan para penuduh lebih layak dilecehkan dan diragukan keikhlasannya dibandingkan beliau Radhiyallahu ‘anhu. Sejauh inikah kebutaan hati dan kedengkian mereka?

 

Kemudian dalam pernyataan mereka ini terdapat penyimpangan makna, karena dalam riwayat tersebut bukan dengan lafazh “shuhbah” (bersahabat). Padahal yang benar, ialah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dengan lafazh “alzamu” (selalu menemani dan mengikuti).

 

Demikian juga Imam Muslim meriwayatkannya dengan lafadz: “Aku adalah seorang miskin yang melayani Rasul selama perutku berisi”. Hal ini menunjukkan penyimpangan yang jelas dari pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu, sebab kata “persahabatan” (shuhbah) tidak sama dengan kata “mulazamah” dan “al khidmah” (melayani dan membantu). Sehingga pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu ini untuk menjelaskan sebab banyaknya periwayatan beliau terhadap hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti telah jelas dari alur pernyataannya.

 

Para penuduh ini, disamping telah melakukan tahrif (penyimpangan) di atas, mereka juga memotong pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu sehingga merubah konotasi maknanya, sehingga terfahami bahwa pendorong utama persahabatan beliau adalah mencari sesuap makanan. Padahal semua itu beliau katakan untuk menjelaskan sebab yang menjadikannya sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.

 

Demikianlah, tahrif (menyimpangkan sesuatu dari lafazh atau makna sebenarnya), sudah menjadi adat kebiasaan orang yang menyimpang dari jalan lurus dan penyembah hawa nafsu.

 

Dari manakah mereka mengklaim (menganggap) diri mampu mengungkapkan secara benar dan jelas sebab persahabatan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Apakah mereka lebih tahu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah memberikan pengakuan dan pujiannya kepada Abu Hurairah?[18]

 

Mereka tidak cukup hanya dengan itu, bahkan menyatakan, bahwa makna lafazh (عَلَى) pada perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu (‘عَلَىمِلء بَطْنِيْ) bermakna untuk yang menunjukkan sebab. Ini juga merupakan kedustaan dan penipuan lain, sekaligus sebagai bukti bila mereka selalu mencari jalan untuk menjatuhkan pribadi Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

 

Pernyataan Abu Hurairah ini telah difahami dengan benar oleh para ulama Islam, seperti pernyataan Imam Nawawi ketika menjelaskan perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu (ala mil’i bathni): maknanya, aku senantiasa mulazamah dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku rela dengan makananku. Aku tidak mengumpulkan harta untuk simpanan dan tidak untuk yang lainnya. Dan akupun tidak berusaha menambah porsi makanan bagiku. Adapun maksud pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu “melayani”, bukan sebagai upaya untuk memperoleh gaji atau upah. [19] Sungguh sangat jelas kebatilan tuduhan ini.

 

4. Mereka menyatakan.

Ia mendatangi para sahabat seperti ‘Umar dan Abu Bakar dengan berpura-pura meminta dibacakan sebuah ayat Al Qur’an, menurut pengakuannya sendiri, padahal ia ingin agar ditawari makanan, tetapi tiada seorang sahabatpun menawarkan makanan kepadanya, kecuali Ja’far bin Abi Thalib, yang langsung mengajak Abu Hurairah ke rumahnya.

 

Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah: “Demi Allah, tiada lain kecuali Dia, aku sering menekan perutku ke bumi karena lapar, dan pada suatu hari, karena lapar, aku sering menekan perutku dengan batu sambil duduk di jalan tempat mereka keluar dari masjid. Aku bertemu dengan Abu Bakar dan aku bertanya kepadanya tentang ayat kitab Allah, dan aku tidak menanyainya kecuali (dengan maksud) agar dia memberi aku makan; tapi ia berlalu dan tidak melakukannya. Dan ‘Umar bertemu denganku dan aku bertanya mengenai ayat kitab Allah, aku tidak bertanya (kepadanya) kecuali agar ia mengajak aku makan, dan ia tidak melakukannya.

 

Bukhari : “Aku bila bertanya mengenai sebuah ayat (Al Qur’an) kepada Ja’far (bin Abu Thalib), maka dia tidak akan menjawab kecuali setelah ia mengajakku ke rumahnya”. Di bagian lain : “Aku meminta kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk membacakan kepadaku ayat (Al Qur’an), yaitu artinya, agar dia memberi aku makan, dan dia (Ja’far bin Abu Thalib) adalah orang yang paling baik terhadap orang miskin. Ia mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan seadanya.” [20]

 

Tanggapan.

Kisah ini dibawakan imam Al Bukhari yang lengkapnya berbunyi:

 

اللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِنْ كُنْتُ لَأَعْتَمِدُ بِكَبِدِي عَلَى الْأَرْضِ مِنْ الْجُوعِ وَإِنْ كُنْتُ لَأَشُدُّ الْحَجَرَ عَلَى بَطْنِي مِنْ الْجُوعِ وَلَقَدْ قَعَدْتُ يَوْمًا عَلَى طَرِيقِهِمْ الَّذِي يَخْرُجُونَ مِنْهُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ وَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي عُمَرُ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ فَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَبَسَّمَ حِينَ رَآنِي وَعَرَفَ مَا فِي نَفْسِي وَمَا فِي وَجْهِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ وَمَضَى فَتَبِعْتُهُ فَدَخَلَ فَاسْتَأْذَنَ فَأَذِنَ لِي فَدَخَلَ فَوَجَدَ لَبَنًا فِي قَدَحٍ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ هَذَا اللَّبَنُ قَالُوا أَهْدَاهُ لَكَ فُلَانٌ أَوْ فُلَانَةُ قَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ إِلَى أَهْلِ الصُّفَّةِ فَادْعُهُمْ لِي قَالَ وَأَهْلُ الصُّفَّةِ أَضْيَافُ الْإِسْلَامِ لَا يَأْوُونَ إِلَى أَهْلٍ وَلَا مَالٍ وَلَا عَلَى أَحَدٍ إِذَا أَتَتْهُ صَدَقَةٌ بَعَثَ بِهَا إِلَيْهِمْ وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْهَا شَيْئًا وَإِذَا أَتَتْهُ هَدِيَّةٌ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ وَأَصَابَ مِنْهَا وَأَشْرَكَهُمْ فِيهَا فَسَاءَنِي ذَلِكَ فَقُلْتُ وَمَا هَذَا اللَّبَنُ فِي أَهْلِ الصُّفَّةِ كُنْتُ أَحَقُّ أَنَا أَنْ أُصِيبَ مِنْ هَذَا اللَّبَنِ شَرْبَةً أَتَقَوَّى بِهَا فَإِذَا جَاءَ أَمَرَنِي فَكُنْتُ أَنَا أُعْطِيهِمْ وَمَا عَسَى أَنْ يَبْلُغَنِي مِنْ هَذَا اللَّبَنِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَطَاعَةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُدٌّ فَأَتَيْتُهُمْ فَدَعَوْتُهُمْ فَأَقْبَلُوا فَاسْتَأْذَنُوا فَأَذِنَ لَهُمْ وَأَخَذُوا مَجَالِسَهُمْ مِنْ الْبَيْتِ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ خُذْ فَأَعْطِهِمْ قَالَ فَأَخَذْتُ الْقَدَحَ فَجَعَلْتُ أُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَأُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ رَوِيَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ فَأَخَذَ الْقَدَحَ فَوَضَعَهُ عَلَى يَدِهِ فَنَظَرَ إِلَيَّ فَتَبَسَّمَ فَقَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَقِيتُ أَنَا وَأَنْتَ قُلْتُ صَدَقْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اقْعُدْ فَاشْرَبْ فَقَعَدْتُ فَشَرِبْتُ فَقَالَ اشْرَبْ فَشَرِبْتُ فَمَا زَالَ يَقُولُ اشْرَبْ حَتَّى قُلْتُ لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا قَالَ فَأَرِنِي فَأَعْطَيْتُهُ الْقَدَحَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَسَمَّى وَشَرِبَ الْفَضْلَةَ

 

Demi, Allah. Tidak ada sesembahan yang benar, kecuali Dia. Sungguh aku tempelkan perutku ke tanahkarena lapar dan aku ganjal perutku dengan batu menahan lapar. Sungguh, pada suatu hari aku duduk di jalan yang biasa mereka pakai pulang dari (bertemu) Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Abu Bakar melintasi jalan itu. Aku pun bertanya kepadanya tentang satu ayat Al Qur’an. Dan tidaklah aku menanyakannya, kecuali agar Abu Bakar menjamuku. Dia pun melewatiku dan tidak berbuat apa-apa. Lalu melintas di jalan itu, Umar bin Al Khaththab. Aku pun bertanya kepadanya satu ayat Qur’an. Dan tidaklah kutanyakan hal itu, kecuali agar ia menjamuku. Namun ia pun melintas dan tidak berbuat apa-apa. Kemudian setelah itu Abul Qasim Muhammad Shalalllahu ‘alaihi wa sallam.melintas di jalan itu seraya tersenyum ketika memandangku. Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. mengetahui yang sedangbergejolak dalam hatiku dan yang tersirat dariwajahku. Kemudian Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. memanggilku,”Wahai,Abu Hirr,” aku pun menjawabnya,”Aku penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, ”Ikuti aku.” Beliau beranjak meninggalkanku dan aku pun mengiringi di belakang Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Beliau masuk rumah dan aku pun meminta izin dan diizinkan. Ketika Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. memasuki rumah, Beliau mendapati susu dalam gelas besar (bejana). Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. bertanya,”Darimana susu ini?” Mereka (isteri-isteri Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam ) Radhiyallahu ‘anhum menjawab,”Hadiah dari fulan atau fulanah untuk engkau.” Beliaupun memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.”Aku pun menjawabnya,”Kupenuhi panggilanmu,wahai Rasul.” Beliau bersabda,”Temuilah Ahlush Shuffah dan undanglah mereka kesini.” Kata Abu Hurairah, Ahlush Shuffah adalah tamu Islam. Mereka tidak bersandar kepada keluarga tertentu. Tidak memiliki harta dan famili seorang pun juga. Jika datang kepada Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. shadaqah, Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. kirimkan makanan tersebut kepada mereka dan sama sekali tidak ikut mencicipi makanan tersebut. Jika datang kepada Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. berupa hadiah (untuknya), maka Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam pun mengirimkannya kepada Ahlush Shuffah dan ikut bersama menikmatinya. Hal itu kurang berkenan bagiku, maka aku berkata (dalam hati),”Apakah susu ini cukup untuk Ahlush Suffah?! Menurutku, akulah yang berhak pertama kali meminum susu agar aku menjadi kuat dengannya. Maka ketika Beliau datang, Beliau memerintahkan kepadaku untuk membagikannya kepada mereka. Padahal, mungkin susu itu tidak akan sampai kepadaku. Namun, mentaati Allah dan RasulNya merupakan keharusan, maka akupun mendatangi dan mengundang mereka. Lalu mereka datang dan mohon izin masuk. Kemudian Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkannya.Lalu mereka mengambil posisi masing-masing di tempat yang ada di rumah Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku pun menjawabnya,”Kupenuhi panggilanmu, wahai Rasul ….” Beliau bersabda lagi,”Ambil dan bagikan kepada mereka.” Aku pun mengambil gelas dan memberikannya kepada salah seorang (diantara mereka); ia meminumnya hingga puas dan kenyang, lalu ia kembalikan gelas itu dan aku berikan kepada orang lain; lalu meminumnya sampai puas dan kenyang. Begitu seterusnya hingga berakhir kepada Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. dalam keadaan seluruh Ahlush Shufah kenyang. Lalu Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. mengambil gelas tadi dan meletakkannya di atas tangan Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Seraya memandangku sambil tersenyum dan bersabda,”Wahai, Abu Hirr! Tinggal aku dan kamu (yang belum minum). Aku menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Duduk dan minumlah.” Akupun duduk dan meminumnya. Lalu Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. bersabda lagi,”Minumlah,” lalu aku minum. Beliau terus memerintahkan kepadaku minum, sehingga aku berkata,”Cukup. Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku. Beliau bersabda,”Berikanlah kepadaku,” aku pun menyerahkan gelas tadi, kemudian Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah dan meminum susu yang tersisa. [21]

 

Mereka berdalih dengan kisah ini untuk menguatkan pernyataan mereka dalam mencela Abu Hurairah sebagai orang yang beramal untuk sesuap makanan. Akan tetapi, apakah karena kejadian tersebut, lalu kita tolak seluruh hadits-hadits beliau, hingga sampai menghina sebagai orang yang memiliki hobi makan dan disebut sebagai pembawa hadits lesung?!

 

Orang yang meneliti kehidupan para sahabat akan mendapatkan bahwa dalam hal seperti ini, beliau Radhiyallahu ‘anhu tidak sendirian. Ada diantara sahabat yang berbuat hal serupa, diantaranya Watsilah bin Al Asqa’ sebagaimana diriwayatkan Al Hakim dengan lafazh:

 

“Kami tinggal selama tiga hari. Setiap orang yang menuju masjid mengajak dua dan tiga orang sesuai dengan kemampuannya, dan memberi mereka makan”. Beliau berkata lagi,”Aku termasuk yang tidak dibawa selama tiga hari tiga malam. Tiba tiba aku melihat Abu Bakar di kegelapan malam. Aku pun mendatanginya dan memintanya untuk membacakan surat Saba’ hingga sampai di rumahnya. Aku berharap ia mengundangku makan malam. Lalu ia pun membacakannya kepadaku hingga depan pintu rumahnya, kemudian berhenti di depan pintu sampai selesai membacakan seluruhnya. Kemudian ia masuk dan meninggalkanku di luar. Kemudian aku menemui Umar. Aku berbuat seperti itu dan ia (pun) berbuat serupa dengan perbuatan Abu Bakar terdahulu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku menemui Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut padanya, dan Beliaupun menjamuku.” [22]

 

Apakah kita menolak seluruh hadits Waatsilah karena peristiwa ini?

 

Sedangkan kisah Abu Haurairah dengan Ja’far bin Abu Thalib dibawakan imam Bukhori dengan lafadz:

 

خَيْرُ النَّاسِ لِلْمَسَاكِينِ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَنْقَلِبُ بِنَا فَيُطْعِمُنَا مَا كَانَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى إِنْ كَانَ لَيُخْرِجُ إِلَيْنَا الْعُكَّةَ لَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ فَنَشْتَقُّهَا فَنَلْعَقُ مَا فِيهَا

 

Sebaik-baik manusia terhadap orang miskin adalah Ja’far bin Abu Thalib. Dia terus mengunjungi kami dan memberi makan kami apa yang ada di rumahnya, sampai-sampai membawa tempat makanan tanpa berisi makanan. Kami pun memegangnya, lalu menjilati sisa yang ada di tempat makanan tersebut. [23]

 

Lihatlah perbedaan dan penukilan sembarangan yang menjadi ciri khas ahli bid’ah dan musuh Islam!

 

5. Mereka menyatakan:

Keperibadian Abu Hurairah lemah. Tatkala kembali dari Bahrain, Umar bin Khaththab mencurigainya menggelapkan uang baitul mal. ‘Umar menuduhnya sebagai pencuri dan menyebutnya sebagai musuh Allah dan musuh kaum muslimin, dalam riwayat lain, musuh Kitab atau musuh Islam. [24]

 

Tanggapan.

Pernyataan mereka ini berdasarkan riwayat yang disampaikan Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih tentang kisah kepulangan Abu Hurairah dari tugasnya sebagai Amir (Gubernur) Bahrain. Beliau menghadap Umar bin Khaththab dengan membawa uang sebanyak 400.000 dari Bahrain. Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepadanya: “Apakah engkau menzhalimi seseorang?”Ia menjawab,”Tidak.” Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, ”Apakah engkau mengambil sesuatu dengan tidak benar?” Ia menjawab, ”Tidak.” Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, ”Berapa banyak yang engkau bawa untuk pribadi?” Ia menjawab, ”Sebanyak 20.000.” Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya, ”Dari mana engkau mendapatkannya?” Ia menjawab, ”Aku berdagang.” Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Hitunglah modal dan rizkimu (gajimu), maka ambillah. Sedang yang lainnya simpanlah diBaitul Mal.” [25]

 

Dalam lafazh Abu Ubaid, (disebutkan) Umar berkata kepadanya: “Wahai, musuh Allah dan musuh KitabNya. Apakah engkau mengambil (mencuri) harta?” Ia menjawab,”Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya dan aku tidak mencuri harta Allah.” Umar bertanya kembali: “Dari mana terkumpul untukmu uang sejumlah 10.000 dirham?” Ia menjawab,”Kudaku berkembang biak. Pemberian untukku selalu aku dapatkan. Begitu juga sahamku (bagianku dari pembagian rampasan perang) juga berkembang dan bertambah.” Lalu Umar mengambilnya dariku. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Ketika kutunaikan shalat Shubuh, aku mintakan ampunan untuk Amirul mukminin.” [26]

 

Perhatikanlah! Bagaimana para musuh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu memanfaatkan perkataan keras Umar Radhiyallahu ‘anhu ini untuk mencaci Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, kemudian menuduhnya telah mencuri dan merampas; padahal permasalahannya tidaklah demikian. Umar Radhiyallahu ‘anhu melakukan pengambilan sebagian harta tersebut terhadap beberapa pejabatnya [27] dan tidak mengkhususkan kepada Abu Hurairah saja. Sebabnya, ketika Amr bin Ash Sha’iq melihat harta para pejabat semakin bertambah banyak, ia merasa aneh, lalu menulis surat kepada Umar bin Al Khaththab dalam bentuk bait-bait syi’ir. [28] Lalu Umar Radhiyallahu ‘anhu pun mengirim utusan kepada para petugas. Diantara mereka adalah Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, lalu ia mengambil harta mereka menjadi setengah bagian. [29] Begitu juga ia memutasi Abu Musa Al Asy’ari dari tugas di Bashrah, dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. Demikian juga pada Al Haarits bin Wahb.[30]

 

Umar Radhiyallahu ‘anhu tidaklah menuduh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dan tidak juga hanya mengambil harta miliknya saja. Bahkan itulah sistem politik Umar Radhiyallahu ‘anhu terhadap para pejabatnya; bukan atas dasar syubhat, namun itu merupakan ijtihad dan kehebatan beliau dalam mengatur perkara-perkara kaum muslimin. [31] Sungguh Umar Radhiyallahu ‘anhu sangat mencintai sahabat, sebagaimana ia mencintai dirinya. Dan beliau sangat tidak suka, bila salah seorang dari mereka mendapatkan harta yang berbau syubhat. Perbuatan beliau ini banyak diriwayatkan dalam perjalanan hidupnya.[32]

 

Khalifah Umar Radhiyallahu ‘anhu khawatir atas mereka. Jangan-jangan orang bermu’amalah dalam perdagangan dan usaha dengan mereka karena jabatan yang disandangnya. Karenanya, beliau mengambil sebagian dari harta mereka dan meletakkannya di Baitul Mal agar terlepas tanggungjawabnya di hadapan Allah Ta’ala. Kemudian ia pun memberikan kepada mereka dari harta Baitul Mal sesuai jumlah yang layak. Dengan demikian menjadi halallah bagi mereka, tanpa ada syubhat. [33]

 

Para penuduh tersebut hanya memandang dan menukil riwayat ini sesuai dengan keinginannya, lalu menjadikanya sebagai senjata untuk menyerang sahabat Abu Hurairah dan menuduhnya berkepribadian lemah, tanpa menyebutkan riwayatnya secara lengkap. Padahal dalam riwayat tersebut terdapat bantahan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu terhadap Umar Radhiyallahu ‘anhu , yaitu ketika Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya “Wahai, musuh Allah dan musuh kitabNya. Apakah engkau telah mencuri harta Allah?”, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya.”

 

Dengan demikian jelaslah, bahwa Umar tidak mencurigai dan menuduh Abu Hurairah mencuri. Hal ini dibuktikan dengan keinginannya mengangkat kembali Abu Hurairah untuk kedua kalinya. Sebagaimana diriwayatkan Abu Ubaid setelah riwayat di atas dengan bunyi: “Kemudian, setelah itu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku: “Bukankah engkau mau bertugas kembali?” Aku menjawabnya: “Tidak”. Ia berkata: “Mengapa (tidak mau), padahal telah bertugas orang yang lebih baik darimu, yakni Yusuf”. Akupun menimpalinya, ”Sesungguhnya Yusuf seorang nabi dan anak seorang nabi pula. Sedangkan aku adalah anak Umaimah, dan aku takut tiga dan dua”. Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Kenapa engkau tidak berkata lima?” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Aku takut berbicara tanpa dasar ilmu dan memutuskan tanpa hilm (sabar dan hati-hati).” Atau ia berkata: “Aku berkata tanpa hilm (sabar dan hati-hati), dan aku memutuskan perkara tanpa dasar ilmu”.

 

Seorang perawi (dari Ibnu Sirin.) berkata: “Keraguan ini berasal dari Ibnu Sirin”. (Lalu Abu Hurairah berkata lagi, Edt),”Dan aku takut akan dipukul punggungku dan dicela kehormatanku dan diambil hartaku dengan paksa.” [34]

 

Seandainya Umar Radhiyallahu ‘anhu telah mengetahui Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu pernah berkhianat, niscaya tidak akan memakainya sama sekali dan tidak akan memanggilnya untuk kedua kalinya. Seandainya Khalifah Umar Radhiyallahu ‘anhu meragukan sedikit saja sifat amanah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, tentu beliau akan menghakimi dan menghukumnya dengan hukuman syar’i. Beliau telah mengetahui sifat amanah dan keikhlasannya, maka beliaupun kembali menemui Abu Hurairah meminta menjadi pejabat beliau.[35]

 

 

Komentar

Postingan Populer